Lanjut ke konten

STUDI HUBUNGAN KEANEKARAGAMAN BURUNG DENGAN LANSEKAP TAMAN KOTA BANDUNG

Juni 15, 2021

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

  • Keanekaragaman Burung Taman Kota BandungDaftar Nama Jenis Burung dan Pengelompokan berdasarkan feeding guilds

            Berdasarkan penelitian yang dilakukan di enam Taman Kota Bandung telah berhasil ditemukan 50 jenis burung yang menggunakan keenam taman kota tersebut sebagai habitatnya. Apabila diklasifikasikan berdasarkan sukunya maka terdiri dari 26 suku. Adapun suku yang paling banyak jumlah jenis burungnya adalah suku Sylviidae yang terdiri dari tujuh jenis. Suku Sylviidae merupakan suku burung pengicau, dengan ciri-ciri berukuran kecil, sangat lincah, pemakan serangga dengan paruh sempit menajam.

Pada Tabel 4.3, kelima puluh jenis burung yang tercatat di Taman Kota Bandung dikelompokkan berdasarkan kesamaan jenis makanannya (feeding guilds). Kelompok burung insektivora merupakan kelompok yang memiliki persentase jenis burung terbesar (47,22 %). Kelompok ini terdiri dari burung-burung yang makanan utamanya adalah serangga dan jenis invertebrata lainnya. Dengan demikian habitat taman kota diindikasikan memiliki potensi serangga yang berlimpah sebagai pakan utama burung yang menghuni habitat tersebut.

Tabel 4.3 Pengelompokan Burung Taman Kota Bandung berdasarkan Jenis Makanannya

Sumber: Tabulasi Data Primer 2005 – 2006

Keterangan:

I   = Insektivora (pemakan invertebrata, cth: Serangga, Cacing, dsb)

G  = Granivora (pemakan Biji)

F  = Frugivora (pemakan Buah)

N  = Nektarivora (pemakan Nektar)

K  = Karnivora (predator/Pemakan Vertebrata kecil)

Persentase jenis burung yang menempati urutan selanjutnya adalah kelompok burung frugivora (20,83 %), granivora (18,06 %), karnivora (11,11 %), dan nektarivora (2,78 %). Pengelompokkan jenis burung berdasarkan makanannya pada umumnya sesuai dengan pengklasifikasian jenis burung berdasarkan sukunya. Setiap jenis yang termasuk suku burung tertentu memiliki jenis makanan yang sama. Dari hasil tersebut maka kita dapat mengetahui jenis makanan burung yang dapat dilihat dengan cara melihat morfologinya (bentuk paruh, ukuran tubuh, dan sebagainya).

Dari data penggolongan jenis makanan burung ini dapat pula diperkirakan bahwa keenam taman kota di Bandung merupakan habitat yang banyak ditempati serangga baik serangga tanah, udara, maupun serangga pohon. Adanya pohon – pohon besar dan tua menjadikan kulit batangnya dihuni berbagai jenis serangga, selain itu adanya epifit dan lumut yang tumbuh di pohon tersebut mengindikasikan bahwa daerah sekitar taman memiliki kelembaban yang cukup bagi keberlangsungan hidup beragam serangga. Kondisi umum setiap Taman Kota di Bandung yang dijadikan sebagai tempat wisata alternatif masyarakat menjadikan setiap taman kota tidak lepas dari sisa – sisa sampah domestik, selain itu di beberapa sudut taman kota biasa dijadikan sebagai tempat timbunan sampah organik dan anorganik. Kondisi demikian dapat mengundang bermacam hewan khususnya serangga pengurai (detrivor), sehingga dapat menambah sumber pakan burung.

Sama halnya dengan tiga penelitian sebelumnya mengenai keanekaragaman burung di Kota Bandung yang dilakukan oleh Megantara dkk. (1994), Nurwatha (1995), dan Ariesusanty (2003) yang menyebutkan bahwa kelompok burung insektivora merupakan kelompok burung terbesar yang menghuni Taman Kota Bandung (Gambar 4.8).

1 = Insektivora 2 = Granivora 3 = Frugivora 4 = Nektarivora 5 = Karnivora  

Gambar 4.8  Grafik Persentase feeding guilds Burung pada Empat Penelitian Keanekaragaman Burung di Taman Kota Bandung

Kelompok burung yang menempati urutan kedua adalah frugivora (20,83 %), hal ini tidak terlepas dari jenis tanaman yang terdapat di Taman Kota Bandung yang menyediakan buah-buahan sebagai sumber pakan burung, seperti Ganitri (Elaeocarpus ganitrus) sebagai sumber pakan burung jenis Psittacula alexandri, Kelapa Sawit (Elaecis guenensis) sebagai sumber pakan burung suku Sturnidae, dan Kersen (Muntingia calbora) sebagai sumber pakan burung jenis Dicaeum trochileum. Selain itu vegetasi yang menghasilkan biji-bijian juga banyak tersedia di Taman Kota Bandung, oleh karena itu kelompok granivora (18,06 %) menyusul pada urutan ketiga.

Habitat suatu taman kota memiliki rantai makanan tersendiri, hal ini dapat dilihat dari adanya jenis-jenis karnivora (11,11 %) yang tercatat di beberapa taman kota. Dengan adanya kelompok burung karnivora, maka dapat dikatakan taman kota memiliki potensi di dalam keseimbangan piramida makanan, karena kelompok karnivora berfungsi sebagai top predator di suatu habitat yang mengendalikan populasi suatu komponen konsumen di ekosistem. Walaupun sebenarnya hanya beberapa taman kota saja yang terdapat kelompok burung karnivora, dan sebagian besar diantaranya tercatat sebagai burung yang hanya melintas untuk melakukan migrasi.

Berbeda dengan penelitian keanekaragaman burung di Taman Kota Bandung tahun – tahun sebelumnya, pada tahun 2006 kelompok burung karnivora (11,11 %) ditemukan dalam jumlah lebih besar dibandingkan kelompok burung nektarivora (2,78 %). Hal ini dikarenakan pada penelitian yang dilakukan sekarang berhasil mencatat jenis – jenis burung pemangsa migran seperti Elang-alap Cina (Accipiter soloensis), Elang-alap Nipon (Accipiter gularis), dan Sikep-madu Asia (Pernis ptilorhynchus). Ke-tiga jenis burung pemangsa (raptor) tersebut tercatat pada bulan Oktober, yaitu pada saat migrasi awal dan bulan Maret pada saat migrasi balik. Beberapa jenis burung migran melintasi Kota Bandung sebagai jalur terbangnya (fly-way) untuk menghindari musim dingin di tempat perkembangbiakannya yaitu di belahan bumi utara.

Jumlah jenis burung yang terdapat di setiap Taman Kota Bandung pada umumnya tidak berbeda jauh (Gambar 4.9). Dari grafik tersebut terlihat bahwa Taman Ganesha merupakan taman kota dengan jumlah jenis burung terbanyak (36 jenis atau sekitar 72 % dari jumlah total burung 6 taman kota). Sebaliknya Taman Cilaki memiliki jumlah jenis burung terkecil (20 jenis atau sekitar 40 % dari jumlah total burung 6 taman kota). Pembahasan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah jenis burung akan dibahas pada sub bab selanjutnya.

Berdasarkan penelitian – penelitian sebelumnya mengenai keanekaragaman burung di Taman Kota Bandung, jumlah jenis burung pada tahun 1994 tercatat sekitar 35 jenis (Megantara dkk., 1994), penelitian ini dilakukan di semua Taman Kota Bandung. Kemudian tahun 1995 jumlah jenis burung di Taman Kota Bandung turun menjadi 34 jenis (Nurwatha, 1995), penelitian ini hanya dilakukan di tiga Taman Kota (Ganesha, Maluku, dan Merdeka). Walaupun demikian penelitian yang dilakukan oleh Nurwatha 1995 mencatat 7 jenis burung yang tidak tercatat pada tahun sebelumnya dan 9 jenis burung tidak ditemukan kembali di Taman Kota Bandung. Salah satu alasan perbedaan data tersebut adalah perbedaan peneliti dalam mengidentifikasi suatu jenis burung.

Pada tahun 2003 Ariesusanty mencatat sekitar 30 jenis burung yang terdapat di Kota Bandung. Penelitian ini dilakukan di tujuh lokasi Kotamadya Bandung. Apabila dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, jumlah jenis burung di Taman Kota Bandung terjadi penurunan. Menurut Ariesusanty (2003) hal tersebut disebabkan oleh adanya perubahan habitat yang terjadi, yaitu perubahan vegetasi dan penambahan bangunan baru.

Berbeda dengan penelitian – penelitian  sebelumnya (tahun 1994 – 2003), pada tahun 2006 terjadi perubahan jenis-jenis burung di Taman Kota Bandung. Tercatat sekitar 16 jenis burung yang menjadi catatan baru dan 18 jenis burung yang tidak tercatat lagi. Catatan baru jenis – jenis burung di taman kota dipengaruhi oleh berbagai faktor. Jenis-jenis burung tersebut terdiri dari kelompok burung migran (yang melakukan migrasi), kelompok burung nocturnal (beraktivitas malam hari), dan kelompok burung yang diperkirakan terlepas atau dilepas dari sangkar.

Jenis – jenis burung yang menjadi catatan baru diharapkan dapat mengganti jenis-jenis burung yang sudah tidak ditemukan lagi di Taman Kota Bandung. Sehingga fungsi burung secara estetika dan ekologis di taman kota dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Walaupun demikian, beberapa jenis burung pendatang baru (alien species) dapat menjadi pesaing bagi burung penetap di dalam suatu rantai ekosistem di Taman Kota Bandung.

  • Status Distribusi dan Status Perlindungan/Perundang – undangan Burung

Selama pengambilan data di lapangan telah ditemukan beberapa jenis burung pendatang atau migran. Burung-burung tersebut melakukan migrasi dari belahan bumi bagian utara menuju selatan dikarenakan kondisi cuaca pada belahan bumi utara sedang mengalami musim dingin, sehingga untuk mempertahankan hidupnya beberapa jenis burung melakukan migrasi ke belahan bumi bagian selatan untuk mencari makan. Fenomena migrasi ini biasanya terjadi sekitar bulan Agustus sampai Maret (Howes dkk., 2003).

Jenis-jenis burung migran yang ditemukan di lokasi pengamatan terdiri dari 10 jenis (Tabel 4.4). Diketahui bahwa burung-burung tersebut melakukan migrasi melintasi Rusia, Jepang, Korea, Thailand, dan beberapa wilayah yang lainnya seperti Indonesia (MacKinnon, 1998). Khusus untuk famili Accipitridae (3 jenis), jenis – jenis tersebut tercatat hanya melintas dan tidak terlihat menggunakan vegetasi taman kota sebagai tempat tenggerannya. Lain halnya dengan tujuh jenis burung migran lainnya, mereka tercatat menggunakan vegetasi taman kota sebagai tempat persinggahannya selama penelitian berlangsung.

Tabel 4.4  Status Distribusi dan Status Perlindungan/Perundang-undangan Burung Taman Kota Bandung

Keterangan:

Tujuh jenis burung migran yang tercatat mencari makan di taman kota bersama dengan jenis-jenis burung penetap (resident) antara lain: Layang-layang Asia (Hirundo rustica), Bentet Coklat (Lanius cristatus), Bentet Loreng (Lanius tigrinus), Sikatan Bubik (Muscicapa dauurica latirostris), Cikrak Kutub (Phylloscopus borealis), Cikrak Mahkota (Phylloscopus coronatus) dan yang pernah terlihat berkompetisi dengan burung penetap sewaktu mencari makan yaitu burung migran Jalak Cina (Sturnus sturninus). Jalak Cina tercatat dalam kelompoknya sebanyak 26 individu sedang berebut daerah jelajah dengan burung Jalak Kerbau (Acridotheres javanicus) yang merupakan jenis penetap. Dari kejadian tersebut kehadiran jenis burung migran di taman kota dapat menambah persaingan bagi burung lokal di dalam pencarian makanan, akan tetapi hal ini perlu diteliti kembali seberapa jauh pengaruh burung migran ini terhadap burung lokal dan habitatnya di taman kota.

Disamping burung-burung yang melakukan migrasi, di lokasi pengamatan pun tercatat jenis-jenis burung yang bersifat nocturnal (beraktivitas mencari makan pada malam hari). Untuk jenis nocturnal ini tidak dimasukan ke dalam penghitungan burung, karena penghitungan burung terbatas untuk jenis burung diurnal (beraktivitas mencari makan pada siang hari). Akan tetapi jenis burung nocturnal ini dimasukkan ke dalam inventarisasi burung taman kota, seperti terdapat pada Tabel 4.4. Jenis nocturnal yang tercatat terdiri dari 3 jenis, salah satunya adalah Kowak-malam Kelabu (Nycticorax nycticorax) yang menjadi suatu fenomena menarik di Taman Ganesha dan sekitarnya. Selama penelitian berlangsung burung ini sering terlihat terbang bolak-balik sambil membawa rerantingan untuk digunakan sebagai bahan sarang. Hal ini mungkin dapat mengganggu jenis burung lain yang berukuran lebih kecil dibanding Kowak, karena aktivitasnya dalam mengambil rerantingan pohon di Taman Ganesha dan sekitarnya.

Taman kota selain memiliki fungsi hidrologis, pengatur iklim mikro, penyerap bahan pencemar udara, fungsi sosial, wisata dan estetika, juga memiliki fungsi yang lain yaitu sebagai habitat bagi burung-burung kota (urban bird) yang statusnya semakin terancam di wilayah perkotaan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat sekitar 12 jenis burung (lihat Tabel 4.4) yang memiliki status konservasi, baik menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia maupun IUCN (International Union Conservation Nature) dan Apendiks CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora).

Jenis burung yang dilindungi menurut peraturan pemerintah Republik Indonesia yang terdapat di kawasan penelitian dan sekitarnya terdiri dari 7 jenis, kemudian jenis burung yang memiliki status konservasi dari IUCN terdiri dari 3 jenis dengan status endangered (terancam), near threatened (hampir punah), dan vulnerable (rentan). Sedangkan jenis burung yang termasuk ke dalam kategori Apendiks CITES II terdiri dari 10 jenis. Untuk jenis-jenis burung endemik tercatat sekitar 10 jenis burung yang hanya ditemukan di Pulau Jawa dan Bali saja, atau hanya ditemukan di beberapa pulau di Indonesia.

            Mengacu pada jumlah jenis burung yang memiliki status konservasi (sebesar 24 %), Taman Kota Bandung merupakan habitat yang penting untuk pelestarian burung. Selain itu untuk menjaga jenis-jenis burung yang memiliki status konservasi, Taman Kota Bandung dapat dikatagorikan sebagai kawasan konservasi burung di wilayah perkotaan.

  • Penyebaran Burung

Penyebaran jenis burung ditentukan berdasarkan nilai persentase Frekuensi Relatif (FR). Semakin tinggi nilai FR maka semakin luas penyebaran jenis burung tersebut di Taman Kota Bandung. Jenis burung yang memiliki tingkat penyebaran yang paling luas terdiri dari 15 jenis burung (FR = 3,8 %).

Tabel 4.5  Jenis Burung dengan tingkat Penyebaran paling Luas di Taman Kota Bandung

NoNama ilmiahNama lokal
1Apus affinisKapinis rumah
2Cacomantis merulinusWiwik kelabu
3Collocalia linchiWalet sapi
4Columba liviaMerpati
5Dicaeum trochileumCabe jawa
6Hirundo rusticaLayang-layang asia
7Hirundo striolataLayang-layang pasir
8Hirundo tahiticaLayang-layang batu
9Megalaima haemacephalaUngkut-ungkut
10Nectarinia jugularisMadu Sriganti
11Orthotomus sepiumCinenen Jawa
12Passer montanusBurung gereja
13Pycnonotus aurigasterKutilang
14Streptopelia chinensisTekukur biasa
15Zosterops palpebrosusKacamata biasa

Jenis-jenis burung yang terdapat pada Tabel 4.5 merupakan jenis burung yang terdapat di enam Taman Kota Bandung. Jenis-jenis tersebut tergolong kosmopolitan, yaitu jenis-jenis burung yang mudah ditemukan dimana saja karena jenis ini dapat beradaptasi dengan baik di sekitar lingkungan yang dekat dengan aktivitas manusia, seperti Taman Kota Bandung yang merupakan habitat binaan manusia.

Melihat kelima belas jenis burung yang memiliki tingkat penyebaran paling luas di Bandung, 66,6 % diantaranya merupakan jenis insektivor. Oleh karena itu keberadaan serangga sebagai sumber pakan burung di Taman Kota Bandung diperkirakan mempengaruhi keberadaan berbagai jenis burung. Selain itu keberadaan tumbuhan sebagai penghasil biji, buah dan nektar juga menyebabkan beberapa jenis burung dapat hidup dengan memanfaatkan tumbuhan tersebut sebagai sumber pakan. Seperti halnya jenis burung Cabe Jawa (Dicaeum trochileum) dan Kutilang (Pycnonotus aurigaster) yang memanfaatkan biji dan buah dari jenis-jenis pohon sebagai sumber pakan yang tersedia di berbagai Taman Kota Bandung. Begitu juga dengan terdapatnya bunga-bunga di taman sebagai penghasil nektar akan menarik perhatian jenis burung nektarivor seperti Burung Madu Sriganti (Nectarinia jugularis).

  • Kelimpahan Jenis Burung

Kelimpahan jenis burung di Taman Kota Bandung diperoleh berdasarkan Kelimpahan Relatif jenis burung. Semakin tinggi nilai Kelimpahan Relatif (KR) maka dominansi burung di taman kota semakin besar. Berdasarkan klasifikasi dominansi Kelimpahan Relatif, burung yang tercatat dapat dibagi ke dalam tiga kelompok:

A.        Jenis Dominan, dengan KR > 5 %,

Jenis burung yang mendominasi Taman Kota Bandung terdiri dari 6 jenis, antara lain: Burung Gereja (Passer montanus), Kacamata Biasa (Zosterops palpebrosus), Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Ungkut-ungkut (Megalaima haemacephala), Punai Penganten (Treron griseicauda), Cabe Jawa (Dicaeum trochileum). Burung Gereja (Passer montanus) adalah burung yang paling mendominasi Taman Kota Bandung (40,3 %). Pada setiap kali pengambilan data, jenis ini sering sekali tercatat dengan jumlah yang sangat tinggi dibandingkan jenis-jenis burung yang lain. Burung ini memiliki sifat yang mudah beradaptasi terhadap kehadiran manusia, oleh karena itu burung ini termasuk dalam kategori umum di taman kota.

B.        Jenis sub dominan, dengan KR antara 2 % sampai 5 %,

Jenis burung yang jumlahnya sub dominan di Taman Kota Bandung terdiri dari 4 jenis, antara lain: Cinenen Jawa (Orthotomus sepium), Betet Biasa (Psittacula alexandri), Madu Sriganti (Nectarinia jugularis), dan Jalak Cina (Sturnus sturninus). Jenis Psittacula alexandri dan Sturnus sturninus hanya ditemukan di beberapa taman kota saja, berbeda dengan Orthotomus sepium (3,26 %) dan Nectarinia jugularis (2,35 %) yang umum ditemukan di pekarangan dan daerah terbuka termasuk di kota-kota (kosmopolitan).

Jenis burungBetet Biasa (Psittacula alexandri) (3,03 %) sering ditemukan dalam jumlah cukup besar, karena jenis burung ini hidup berkelompok (koloni), selain itu beberapa keterangan menyebutkan jenis ini berasal dari burung lepasan yang telah beradaptasi dan berkembangbiak di habitat Taman Kota Bandung. Lain halnya dengan Sturnus sturninus (2,22 %) yang ditemukan dalam jumlah besar sebanyak 26 individu, jenis ini tercatat dalam kelompoknya pada bulan Oktober, dimana bulan tersebut adalah awal dari datangnya burung-burung yang bermigrasi dari belahan bumi utara menuju bumi selatan. Jenis Sturnus sturninus menggunakan Taman Kota Bandung sebagai habitat sementara saja, karena jenis ini tidak ditemukan kembali keberadaannya selain pada bulan Oktober.

C.        Jenis tidak dominan, dengan KR < 2 %,

Burung yang termasuk ke dalam kelompok jenis tidak dominan adalah burung yang memiliki kelimpahan relatif kurang dari 2 %, ini berarti terdapat sekitar 22 jenis burung yang populasinya tidak dominan (lihat Lampiran VII).

  • Indeks Diversitas, Perataan, dan Kesamaan (Similarity)

Tingkat keanekaan jenis di suatu daerah dapat diketahui dengan menggunakan Indeks Shannon Weaner, dimana semakin besar nilai indeks maka semakin beraneka pula jenis burung dan jumlah individunya semakin merata yang terdapat di daerah tersebut. Dari keenam Taman Kota Bandung yang diteliti, didapatkan nilai indeks keanekaan yang paling besar yaitu di Taman Merdeka sebesar 2,417 (lihat Tabel 4.6)

Tabel 4.6  Indeks Diversitas (HI) dan Perataan Burung (JI) di Taman Kota Bandung

Taman KotaH’J’
Taman  Ganesha2,3940,786
Taman  Cilaki1,9560,763
Taman  Maluku1,9220,653
Taman  Lalulintas2,1620,734
Taman  Merdeka2,4170,821
Taman  Tegallega1,5430,524

            Taman Merdeka merupakan taman kota dengan nilai indeks keanekaan burung paling tinggi. Walaupun taman ini hanya memiliki jumlah jenis burung sebanyak 25 jenis (lihat Gambar 4.9), akan tetapi jumlah individu setiap jenisnya lebih merata jika dibandingkan dengan Taman Ganesha (36 jenis burung). Nilai indeks keanekaan akan mencapai maksimal apabila semua jenis burung yang terdapat pada lokasi sampling tersebar dengan jumlah individu yang sama.

            Demikian juga dengan nilai indeks perataan burungnya, Taman Merdeka memiliki nilai yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan lima taman kota yang lain. Nilai indeks perataan 0,821 adalah angka yang mendekati angka satu yang berarti penyebaran individu setiap jenis di Taman Merdeka paling merata.

            Kondisi Taman Merdeka yang memiliki stratifikasi dan komposisi tumbuhan yang cukup baik sangat mendukung bagi kehidupan burung. Jumlah pohon dengan lapisan tajuk yang beraneka memungkinkan taman ini menyediakan sumber pakan burung yang berlimpah, selain itu tinggi pohon dan kerapatan tajuk menjadikan taman ini lokasi yang baik untuk tempat berlindung dan membuat sarang. Taman Merdeka merupakan taman kota yang paling tua di Bandung (tahun 1885), oleh karena itu taman ini memiliki komunitas yang lebih tua dibandingkan dengan lima taman kota yang lain, sehingga keanekaragaman burungnya lebih tinggi.

            Sama halnya dengan Taman Ganesha yang memiliki stratifikasi dan komposisi tumbuhan yang cukup baik, sehingga mendukung bagi kehidupan 36 jenis burung yang tercatat di taman ini. Akan tetapi dari ke-36 jenis burung tersebut tidak semuanya menjadikan Taman Ganesha sebagai habitat tetapnya, melainkan beberapa jenis burungnya hanya tercatat beberapa kali saja. Hal ini diperkirakan beberapa jenis burung menjadikan Taman Ganesha sebagai jalur daerah jelajahnya. Kondisi demikian erat kaitannya dengan lansekap Taman Ganesha yang membentuk jalur hijau pepohonan menuju ke arah Taman Hutan Raya Djuanda.

Tabel 4.7  Perbandingan Indeks Kesamaan Jenis Burung di Enam Taman Kota Bandung Dalam Persen

IKSTaman  GaneshaTaman  CilakiTaman  MalukuTaman  LalulintasTaman  MerdekaTaman  Tegallega
Taman  Ganesha 21.0327.3727.3726.3728.03
Taman  Cilaki21.03 27.7027.9026.7028.60
Taman  Maluku27.3727.70 27.6926.7728.38
Taman  Lalulintas27.3727.9027.69 26.6228.38
Taman  Merdeka26.3726.7026.7726.62 28.44
Taman  Tegallega28.0328.6028.3828.3828.44 
IKOTaman  GaneshaTaman  CilakiTaman  MalukuTaman  LalulintasTaman  MerdekaTaman  Tegallega
Taman  Ganesha 28.9132.1132.1131.6532.18
Taman  Cilaki28.91 31.8632.0930.0433.61
Taman  Maluku32.1131.86 27.6927.3028.93
Taman  Lalulintas32.1132.0927.69 27.1528.93
Taman  Merdeka31.6530.0427.3027.15 29.58
Taman  Tegalllega32.1833.6128.9328.9329.58 

Keterangan:

IKS :   Indeks Kesamaan Sorensen

IKO :   Indeks Kesamaan Optimum

 Nilai indeks kesamaan burung paling tinggi
 Nilai indeks kesamaan burung paling rendah

Cat:  Jika dua lokasi yang diperbandingkan semua jenis burungnya sama, maka nilai akan menunjukkan 100% dan sebaliknya jika tidak ada jenis yang sama maka akan bernilai 0%

Dilihat dari nilai kesamaan jenis burung antar taman kota, maka setiap taman kota tidak memiliki perbedaan yang sangat jauh (Tabel 4.7) , terlihat dari nilai IKS dan IKO yang tidak berkisar jauh (nilai indeks kesamaan burung paling tinggi, IKS = 28,60; IKO = 33,61). Lokasi yang memiliki tingkat kesamaan jenis paling rendah jika dibandingkan lokasi lainnya adalah Taman Cilaki – Taman Ganesha untuk IKS dan Taman Lalulintas – Taman Merdeka untuk IKO. Ketidaksesuaian antara IKS dan IKO disebabkan terdapatnya perbedaan jumlah jenis yang tidak seimbang antara Taman Cilaki dan Taman Ganesha. Sedangkan lokasi yang memiliki tingkat kesamaan jenis burung paling tinggi menurut IKS dan IKO adalah Taman Cilaki – Taman Tegallega.

Taman Cilaki dan Taman Tegallega memiliki jenis burung yang hampir sama, karena kedua taman ini hanya memiliki dua strata vegetasi dengan jumlah jenis dan individu tumbuhan yang rendah, sehingga burung yang terdapat di dua taman ini tergolong kosmopolitan yaitu jenis burung yang mudah ditemukan dimana saja karena jenis ini dapat beradaptasi dengan baik di sekitar lingkungan yang dekat dengan aktivitas manusia. Taman Tegallega memiliki indeks keanekaan dan perataan burung terkecil diantara taman kota yang lain karena penutupan lahannya didominasi oleh vegetasi rumput dan non vegetasi. Sedangkan Taman Cilaki memiliki indeks keanekaan dan perataan burung yang cukup besar (H’ = 1,956; J’ = 0,763), karena didukung oleh ukuran penutupan tajuk pohon yang cukup besar yang mempengaruhi ketersediaan pakan, tempat berlindung dan bersarang bagi jenis-jenis burung yang terdapat di Taman Cilaki.

  • Variabel Lansekap Taman Kota Bandung

Variabel lansekap Taman Kota Bandung yang diteliti terdiri dari beberapa aspek yaitu: komposisi dan stratifikasi vegetasi pada taman, luas taman, jarak antar taman (ada atau tidak adanya jalur hijau), kelas lahan setiap taman, dan tingkat gangguan pada setiap taman. Faktor-faktor tersebut dibahas pada setiap taman kota berikut ini:

  • Taman Cilaki

Taman Cilaki yang diteliti sebenarnya terdiri dari 3 bagian taman yang dipisahkan oleh jalan, yaitu Taman Cilaki Atas (Taman Lansia) dengan luas mencapai 9.750 m2, Taman Cilaki Tengah dengan luas mencapai 6.480 m2, dan Taman Cilaki Bawah (Taman Cibeunying) yang memiliki luas 16.620 m2. Bentuk Taman Cilaki memanjang dari sebelah barat yang dibatasi oleh Jalan Diponegoro (Gasibu) sampai ke timur yang dibatasi oleh Jalan Ciliwung. Taman ini dilalui oleh selokan yang memanjang pada tengah-tengah taman. Berdasarkan peta citra satelit SPOT-5 tahun 2003 yang dianalisis dengan menggunakan software GRASS (Geographic Resources Analysis Support System) pembagian lahan di Taman Cilaki diklasifikasikan menjadi tiga kelas lahan.

Gbr. 4.10  Kelas Lahan Taman Cilaki Bandung

Pembagian kelas lahan tersebut antara lain: vegetasi pohon, vegetasi rumput, dan non vegetasi. Berdasarkan analisis software GRASS (Geographic Resources Analysis Support System) kelas lahan vegetasi pohon memiliki indeks penutupan sebesar 0,907 sedangkan kelas lahan vegetasi rumput memiliki indeks 0,047 disusul kemudian dengan kelas lahan non vegetasi sebesar 0,045. Hal ini berarti penutupan Taman Cilaki apabila dilihat secara horizontal didominasi oleh vegetasi pohon.

Vegetasi yang mendominasi taman ini adalah berupa pohon, seperti Mahoni (Switenia mahagoni), Flamboyan (Delonix regia), Ganitri (Elaeocarpus ganitrus) dan Angsana (Pterocarpus indicus). Vegetasi semak ataupun herba sangat jarang ditemukan di sekitar taman, hal itu karena pemeliharaan dan perawatan Taman Cilaki intensif dilakukan, sehingga tumbuhan liar sukar untuk hidup di taman ini, terkecuali Taman Cilaki Atas yang kondisinya tidak dipelihara dengan baik. Selama penelitian Taman Cilaki Atas tertutup bagi pengunjung taman, hal ini terlihat dari adanya pagar (ram kawat) yang memanjang di tepi taman. Meskipun demikian beberapa tuna wisma selalu terlihat menempati lokasi tersebut.

Penggambaran stratifikasi vegetasi secara horizontal dan vertikal dilakukan di transek 2 pengamatan burung (Cilaki Tengah), karena selama pengamatan berlangsung lokasi tersebut memiliki jumlah jenis burung terbanyak dan sering sekali dikunjungi oleh berbagai jenis burung. Struktur tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.11.

Pada gambar diagram profil tersebut terlihat bahwa Taman Cilaki terdiri dari 2 strata vegetasi, yaitu strata B yang terdiri dari pohon kategori dewasa dengan ketinggian lapisan tajuk penyusun antara 15 – 29 meter. Jenis-jenis pohon yang mengisi strata ini diantaranya adalah Switenia mahagoni, Delonix regia, Elaeocarpus ganitrus, Pterocarpus indicus, Lagerstroemia speciosa, dan Spatodea campanulata.Pada strata C yaitu ketinggian tajuk antara 0 – 14 meter ditempati oleh Pinus merkusii, Mussaenda frondosa, Syzigium aquea, Nerium oleander, dan Zallaca edulis. Strata ini memiliki penutupan yang tidak bersambungan antara satu pohon dengan pohon lainnya, beberapa jenis tumbuhannya merupakan jenis semak. Lapisan vegetasi penutup lantai taman didominasi oleh kelompok rumput. Kelompok ini hampir merata menutupi lapisan lantai, hanya bagian-bagian tertentu yang tidak ditumbuhi rumput seperti jalan dan tempat duduk yang mengalami pengerasan lahan.

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan informan kunci yaitu Bapak Uway (58 tahun, petugas pembibitan dan penghijauan), didapatkan bahwa tidak terjadi aktivitas perburuan burung oleh manusia di Taman Cilaki. Hal ini dikarenakan posisi Taman Cilaki berada di kawasan perkantoran pemerintah, dan jauh dari pemukiman penduduk. Sehingga pengunjung taman pada umumnya memanfaatkan taman tersebut sesuai dengan fungsi taman kota. Akan tetapi pada kenyataannya aktivitas pengunjung Taman Cilaki dapat dikategorikan pada aktivitas dengan tingkat keramaian tinggi. Hal ini terlihat ketika hari libur tiba, Taman Cilaki dipenuhi oleh para pengunjung karena sering sekali dimanfaatkan sebagai tempat pagelaran seni, pedagang kaki lima, dan sebagainya. Hal tersebut tidak terlepas dari posisi Taman Cilaki yang berseberangan dengan Lapangan Gasibu sebagai salah satu lapangan dan tempat pertunjukan terbuka terbesar masyarakat Bandung.

  • Taman Ganesha

Taman Ganesha dikelompokkan sebagai taman kelurahan, karena memiliki luasan sekitar 2.750 m2. Taman Ganesha terdapat di Kecamatan Coblong, tepatnya berada di sebelah selatan kampus Institut Teknologi Bandung yang dibatasi oleh jalan Ganesha. Berdasarkan peta citra satelit SPOT-5 tahun 2003 yang dianalisis dengan menggunakan software GRASS (Geographic Resources Analysis Support System) pembagian lahan di taman ini diklasifikasikan menjadi tiga kelas lahan, yaitu vegetasi pohon, vegetasi rumput, dan non vegetasi

Gambar 4.12  Kelas Lahan Taman Ganesha Bandung

Indeks penutupan kelas lahan vegetasi pohon yaitu sebesar 0,776 sedangkan kelas lahan vegetasi rumput memiliki indeks 0,174 dan kelas lahan non vegetasi sebesar 0,050. Hal ini berarti penutupan Taman Ganesha apabila dilihat secara horizontal didominasi oleh vegetasi pohon. Adapun vegetasi rumput dan non vegetasi lainnya seperti jalan dan bangunan tertutup oleh luasnya kanopi pohon. Vegetasi yang mendominasi Taman Ganesha adalah berupa pohon, seperti Ganitri (Elaeocarpus ganitrus), Cemara Angin (Casuarina equisetifolia), Kisabun (Filicium decipiens), dan Kelapa Sawit (Elaecis guenensis). Kelompok tanaman hias perdu dan semak banyak ditemukan di Taman Ganesha, hal ini sebagai pengganti dari dipangkasnya semak-semak liar akibat dari renovasi taman. Pemangkasan ini menyebabkan perubahan stratifikasi dan penurunan jumlah jenis tanaman di taman ini (Ariesusanty, 2003).

Penggambaran stratifikasi vegetasi secara horizontal dan vertikal dilakukan pada transek sebelah barat yang memanjang dari selatan menuju utara, karena selama pengamatan berlangsung lokasi tersebut memiliki jumlah jenis burung terbanyak dan sering sekali dikunjungi oleh berbagai jenis burung. Struktur tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.13. Pada gambar tersebut terlihat bahwa Taman Ganesha terdiri dari 3 strata vegetasi, yaitu strata A yang terdiri dari pohon kategori dewasa dengan ketinggian lapisan tajuk penyusun antara 30 – 45 meter. Jenis-jenis pohon yang mengisi strata A diantaranya adalah Elaeocarpus ganitrus dan Casuarina equisetifolia.

Pada strata A beberapa batang pohon digunakan burung sebagai sarang, hal ini terlihat dari lubang-lubang yang terdapat di batang pohon. Selain itu pada beberapa kali pengamatan pernah tercatat jenis burung yang menggunakan lubang-lubang pohon tersebut sebagai sarang, diantaranya burung Betet biasa (Psittacula alexandri), Caladi ulam (Dendrocopus macei) dan Ungkut-ungkut (Megalaima haemacephala). Sedangkan pada strata B yaitu ketinggian tajuk antara 15 – 29 meter ditempati oleh Filicium decipiens, dan Bouea macrophylla. Sedangkan pada strata C dengan ketinggian antara 0 – 14 meter banyak diisi oleh kelompok tanaman perdu dan semak seperti Acalypha microphylla, Gardenia jasminoides, Bougenvillea spectabilis, dan kelompok tanaman Palm. Lapisan vegetasi penutup lantai taman didominasi oleh kelompok rumput. Kelompok ini hampir merata menutupi lapisan lantai, hanya bagian-bagian tertentu yang tidak ditumbuhi rumput seperti wc umum, kolam, jalan, tangga dan tempat duduk yang mengalami pengerasan lahan.

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan informan kunci yaitu Bapak Cholil (49 tahun, Penjaga Taman), didapatkan bahwa pernah terjadi aktivitas perburuan burung oleh manusia di Taman Ganesha. Adapun burung yang menjadi sasaran perburuan antara lain Kowak-malam kelabu (Nycticorax nycticorax), Tekukur biasa (Streptopelia chinensis), Kerak kerbau (Acridotheres javanicus), dan Kutilang (Pycnonotus aurigaster). Khusus untuk burung Kowak-malam kelabu (Nycticorax nycticorax), perburuan terhadap jenis ini masih dilakukan hingga bulan Januari 2006. Sampai sekarang pun beberapa orang yang berlokasi di sepanjang jalan Ganesha dan sekitarnya masih sering terlihat “mengganggu” kehadiran burung tersebut. Hal yang mendasarinya adalah kehadiran burung Kowak di daerah ini merugikan beberapa pihak, karena kotorannya yang berjatuhan menyebabkan bau yang kurang sedap. Selain kotoran, banyak juga ditemukan sisa-sisa makanan yang jatuh seperti ikan, belut, tikus atau bangkai anakan Kowak yang menambah kotornya daerah tersebut. Populasi dan distribusi sarang Kowak yang semakin hari semakin meningkat menjadi sebuah permasalahan bagi masyarakat sekitar dan menjadi sebuah ancaman bagi Kowak sendiri dari perbuatan manusia yang berada di J alan Ganesha dan sekitarnya.

Gangguan lain terhadap burung di Taman Ganesha dapat berupa aktivitas pengunjung taman. Taman ini dikategorikan sebagai taman dengan tingkat aktivitas keramaian tinggi. Setiap hari libur, Taman Ganesha dipenuhi oleh para pengunjung yang memanfaatkan taman ini sebagai tempat pendidikan anak, pagelaran seni dan sebagainya. Hal tersebut tidak terlepas dari posisi Taman Ganesha yang berseberangan dengan Kampus Institut Teknologi Bandung dan bersebelahan dengan kompleks Masjid Salman ITB. Oleh karena itu banyak pihak yang setuju apabila Taman Ganesha ini dijadikan sebagai taman yang bernuansa edukasi.

  • Taman Maluku

Taman Maluku dikelompokkan sebagai taman kecamatan, karena memiliki luasan sekitar 24.016 m2. Taman Maluku terdapat di Kecamatan Sumur Bandung, tepatnya berada di sebelah barat Gelanggang Olah Raga Saparua Bandung. Berdasarkan peta citra satelit SPOT-5 tahun 2003 yang dianalisis dengan menggunakan software GRASS (Geographic Resources Analysis Support System) pembagian lahan di taman ini diklasifikasikan menjadi tiga kelas lahan, yaitu vegetasi pohon, vegetasi rumput, dan non vegetasi

Gambar 4.14  Kelas Lahan Taman Maluku Bandung

Indeks penutupan kelas lahan vegetasi pohon yaitu sebesar 0,739 sedangkan kelas lahan vegetasi rumput memiliki indeks 0,038 dan kelas lahan non vegetasi sebesar 0,223. Hal ini berarti penutupan Taman Maluku apabila dilihat secara horizontal didominasi oleh vegetasi pohon, disusul kemudian oleh kelas lahan non vegetasi berupa lapangan tennis dan bangunan kantornya. Sedangkan vegetasi rumput tertutup oleh luasnya kanopi pohon.

Vegetasi yang mendominasi Taman Maluku adalah berupa pohon, seperti Ganitri (Elaeocarpus ganitrus), Cemara angin (Casuarina equisetifolia), Tanjung (Mimusops elengi), dan Kenari (Canarium commune). Kelompok perdu banyak juga ditemukan di taman ini, seperti Puring (Codiaeum variegatum) dan Kaca piring (Gardenia jasminoides) yang cukup dominan.

Penggambaran stratifikasi vegetasi secara horizontal dan vertikal dilakukan pada transek 2 yang memanjang dari selatan menuju utara. Struktur tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.15. Pada gambar diagram profil tersebut terlihat bahwa Taman Maluku terdiri dari 3 strata vegetasi, yaitu strata A yang terdiri dari pohon kategori dewasa dengan ketinggian lapisan tajuk penyusun antara 30 – 45 meter. Jenis-jenis pohon yang mengisi strata A diantaranya adalah, Spatodea campanulata, Casuarina equisetifolia,  dan Pterocarpus indicus.

Pada strata B yaitu ketinggian tajuk antara 15 – 29 meter ditempati oleh Syzigium polyanthum, Mimusops elengi, Roystonia regia dan Antidesma bunius. Sedangkan pada strata C dengan ketinggian antara 0 – 14 meter banyak diisi oleh kelompok tanaman hias perdu dan semak seperti Blownea capitella, Gardenia jasminoides, Codiaeum variegatum, dan pohon yang masih seedling. Lapisan vegetasi penutup lantai taman didominasi oleh kelompok rumput. Kelompok ini hampir merata menutupi lapisan lantai, hanya bagian-bagian tertentu yang tidak ditumbuhi rumput seperti kolam air, lapang tennis, bangunan, tempat duduk, dan jalan yang mengalami pengerasan lahan.

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan informan kunci, yaitu Bapak Juana (44 tahun, Pegawai Dinas Pertamanan & Pemakaman), didapatkan bahwa pernah terjadi aktivitas perburuan burung oleh manusia di Taman Maluku. Adapun burung yang menjadi sasaran perburuan adalahKutilang (Pycnonotus aurigaster). Hal ini cukup mengherankan, karena posisi Taman Maluku yang berada tepat di depan kantor Dinas Pertamanan dan Pemakaman saja masih terdapat kasus perburuan burung.

Aktivitas pengunjung Taman Maluku sampai sejauh ini dikategorikan sebagai taman dengan tingkat keramaian rendah. Hal ini terlihat juga dari jumlah pengunjung yang mengunjungi taman ini pada hari biasa dengan rata-rata jumlah pengunjung berkisar 20 orang. Kondisi taman yang terlihat kumuh dan kurang terawat adalah salah satu faktor yang menjadikan taman ini jauh dari keramaian. Akan tetapi hal tersebut merupakan faktor positif bagi kehidupan liar khususnya kehidupan burung.

Pada umumnya para pengunjung memanfaatkan taman ini sebagai sarana olahraga, dan kegiatan santai lainnya. Beberapa orang menjadikan taman ini sebagai tempat tinggalnya, kondisi ini dapat dilihat di pinggiran lapang tennis dimana tunawisma mendirikan tenda-tendanya untuk bermukim.

  • Taman Lalulintas

Taman Lalulintas dikelompokkan sebagai taman kecamatan, karena memiliki luasan sekitar 36.600 m2. Taman Lalulintas terdapat di Kecamatan Sumur Bandung, letaknya berada diantara Taman Maluku dan Taman Merdeka. Berdasarkan peta citra satelit SPOT-5 tahun 2003 yang dianalisis dengan menggunakan software GRASS (Geographic Resources Analysis Support System) pembagian lahan di taman ini diklasifikasikan menjadi tiga kelas lahan, yaitu vegetasi pohon, vegetasi rumput, dan non vegetasi

Gambar 4.16  Kelas Lahan Taman Lalulintas Bandung

Indeks penutupan kelas lahan vegetasi pohon yaitu sebesar 0,938 sedangkan kelas lahan vegetasi rumput memiliki indeks 0,037 dan kelas lahan non vegetasi sebesar 0,025. Hal ini berarti penutupan Taman Lalulintas apabila dilihat secara horizontal didominasi oleh vegetasi pohon. Adapun vegetasi rumput dan non vegetasi lainnya seperti jalan dan bangunan tertutup oleh luasnya kanopi pohon. Vegetasi yang mendominasi Taman Lalulintas adalah berupa pohon, seperti Pinus (Pinus merkusii), Mahoni (Swietenia mahagoni), Flamboyan (Delonix regia), dan Angsana (Pterocarpus indicus)

Penggambaran stratifikasi vegetasi secara horizontal dan vertikal dilakukan pada transek 1 yang memanjang dari selatan menuju utara, karena selama pengamatan berlangsung lokasi tersebut memiliki jumlah jenis burung terbanyak dan sering sekali dikunjungi oleh berbagai jenis burung. Struktur tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.17. Pada gambar diagram profil tersebut terlihat bahwa Taman Lalulintas terdiri dari 2 strata vegetasi, yaitu strata B yang terdiri dari pohon kategori dewasa dengan ketinggian lapisan tajuk penyusun antara 15 – 29 meter.

Jenis-jenis pohon yang mengisi strata B diantaranya adalah Delonix regia, Ficus benjamina dan Pinus merkusii. Pada strata ini beberapa batang pohon digunakan sebagai sarang burung Ungkut-ungkut (Megalaima haemacephala). Pada strata C yaitu ketinggian tajuk antara 0 – 14 meter ditempati oleh Plumeria acuminata, Kigelia aethopia, Nephelium longan, dan Callophyllum inophyllum. Lapisan vegetasi penutup lantai taman didominasi oleh kelompok rumput.

Taman Lalulintas memiliki perbedaan yang mencolok bila dibandingkan dengan taman kota yang lain. Perbedaan tersebut dapat terlihat dari bangunan-bangunan ataupun peralatannya yang difungsikan sebagai sarana bermain anak-anak. Sehingga sebagian besar lantai taman mengalami pengerasan lahan, seperti yang terdapat pada setiap arena bermain anak maupun di sepanjang jalur-jalur jalan sebagai tempat melatih anak di dalam berlalulintas.

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan informan kunci, yaitu Ibu Suprapti (33 tahun, Administratur Yayasan Taman Lalulintas), didapatkan bahwa tidak terjadi aktivitas perburuan burung oleh manusia di Taman Lalulintas. Hal ini dikarenakan tidak semua orang dapat memasuki kawasan taman, sebab taman ini memiliki pagar disekelilingnya dan setiap pengunjung dikenai tiket sebagaimana memasuki kawasan wisata pada umumnya. Walaupun di taman ini tidak terjadi perburuan, akan tetapi aktivitas pengunjung di Taman Lalulintas ini dikategorikan sebagai taman dengan tingkat aktivitas keramaian tinggi. Setiap hari libur, taman yang dikelola oleh Yayasan Taman Lalulintas Ade Irma Suryani ini dipenuhi oleh para pengunjung yang memanfaatkan taman ini sebagai tempat rekreasi anak. Menurut pihak pengelola taman, rata-rata jumlah pengunjung taman ini mencapai 2000 orang setiap hari liburnya. Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah dan aktivitas pengunjung merupakan salah satu faktor yang dapat mengganggu burung Taman Lalulintas. Hal tersebut memungkinkan, karena luasan lahan Taman Lalulintas yang berada pada kategori taman kecamatan.

  • Taman Merdeka

Taman Merdeka dikelompokkan sebagai taman kelurahan, karena memiliki luasan sekitar 13.800 m2. Taman Merdeka terdapat di Kecamatan Sumur Bandung, tepatnya berada di kawasan Balai Kota Bandung yang diapit oleh Jalan Merdeka, Jalan Wastukencana, dan Jalan Aceh. Berdasarkan peta citra satelit SPOT-5 tahun 2003 yang dianalisis dengan menggunakan software GRASS (Geographic Resources Analysis Support System) pembagian lahan di taman ini diklasifikasikan menjadi tiga kelas lahan, yaitu vegetasi pohon, vegetasi rumput, dan non vegetasi

Gambar 4.18  Kelas Lahan Taman Merdeka Bandung

Indeks penutupan kelas lahan vegetasi pohon yaitu sebesar 0,645 sedangkan kelas lahan vegetasi rumput memiliki indeks 0,073 dan kelas lahan non vegetasi sebesar 0,282. Hal ini berarti penutupan Taman Merdeka apabila dilihat secara horizontal didominasi oleh vegetasi pohon, disusul kemudian oleh kelas lahan non vegetasi berupa Gedung Balai Kota dan jalan yang mengalami pengerasan lahan. Sedangkan vegetasi rumput tertutup oleh luasnya kanopi pohon.

Vegetasi yang mendominasi Taman Merdeka adalah berupa pohon, seperti Damar (Agathis damara), Bungur (Lagerstroemia speciosa), Beringin (Ficus benjamina), dan Kisabun (Filicium decipiens). Penggambaran stratifikasi vegetasi secara horizontal dan vertikal dilakukan pada transek 2 yang memanjang dari selatan menuju utara. Struktur tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.19. Pada gambar diagram profil tersebut terlihat bahwa Taman Merdeka terdiri dari 3 strata vegetasi, yaitu strata A yang terdiri dari pohon kategori dewasa dengan ketinggian lapisan tajuk penyusun antara 30 – 45 meter. Jenis-jenis pohon yang mengisi strata A diantaranya adalah Agathis damara, dan Ficus benjamina.

Pada strata B yaitu ketinggian tajuk antara 15 – 29 meter ditempati oleh Lagerstroemia speciosa, Cupressus pubinervis, Switenia mahagoni, dan Mimusops elengi. Sedangkan pada strata C dengan ketinggian antara 0 – 14 meter banyak diisi oleh tanaman seperti Erythryna variegata, Persea americana, Pashytaechys lutea, Ixora javanica, Acalypha microphylla, Antidesma bunius dan pohon yang masih seedling. Lapisan vegetasi penutup lantai taman didominasi oleh kelompok rumput.

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan informan kunci, yaitu Bapak Edi (47 tahun, Petugas Kebersihan), didapatkan bahwa tidak pernah terjadi aktivitas perburuan burung oleh manusia di Taman Merdeka. Hal ini karena Taman Merdeka terdapat di kawasan Balai Kota Bandung yang memiliki pagar dan pengamanan khusus. Adapun aktivitas pengunjung taman sampai sejauh ini dikategorikan sebagai taman dengan tingkat keramaian rendah. Kondisi taman pada setiap harinya terlihat bersih karena perawatan yang intensif dilakukan. Oleh karena itu para pengunjung memanfaatkan taman ini sebagai sarana olahraga, refreshing, dan kegiatan santai lainnya.

  • Taman Tegallega

Taman Tegalega dikelompokkan sebagai taman kota, karena memiliki luasan sekitar 155.100 m2. Taman Tegallega terdapat di Kecamatan Regol, dibatasi oleh Jalan Otto Iskandar Dinata di sebelah barat, Jalan Mohammad Toha di sebelah timur, dan Jalan BKR di sebelah selatan. Berdasarkan peta citra satelit SPOT-5 tahun 2003 yang dianalisis dengan menggunakan software GRASS (Geographic Resources Analysis Support System) pembagian lahan di taman ini diklasifikasikan menjadi tiga kelas lahan, yaitu vegetasi pohon, vegetasi rumput, dan non vegetasi

Gambar 4.20  Kelas Lahan Taman Tegallega Bandung

Indeks penutupan kelas lahan vegetasi pohon yaitu sebesar 0,249 sedangkan kelas lahan vegetasi rumput memiliki indeks 0,408 dan kelas lahan non vegetasi sebesar 0,342. Berbeda dengan lima taman yang lain, penutupan Taman Tegallega apabila dilihat secara horizontal didominasi oleh vegetasi rumput. Adapun urutan kedua ditempati oleh non vegetasi, sedangkan vegetasi pohon berada pada urutan terakhir.

Vegetasi yang mendominasi Taman Tegallega adalah berupa rumput dan tanaman hias. Kelompok rumput mendominasi sebelah utara taman ini, sedangkan tanaman hias terdapat di sebelah timurnya. Tanaman hias di taman ini jumlahnya cukup banyak dan beranekaragam karena dikelola oleh Koperasi Pasar Bunga yang berada di bawah binaan Yayasan Berhiber Bandung.

Meskipun berada pada kelas lahan terakhir, vegetasi pohon di Taman Tegallega dinilai cukup luas apabila melihat ukuran dari taman ini. Jenis-jenis pohon seperti Mahoni (Switenia mahagoni), Angsana (Pterocarpus indicus), dan Bungur (Lagerstroemia speciosa) mendominasi jenis pohon yang lain. Penggambaran stratifikasi vegetasi secara horizontal dan vertikal dilakukan pada transek 2 sebelah selatan yang memanjang dari timur menuju barat, karena selama pengamatan berlangsung lokasi tersebut memiliki jumlah jenis burung terbanyak dan sering sekali dikunjungi oleh berbagai jenis burung. Struktur tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.21. Pada gambar diagram profil tersebut terlihat bahwa Taman Tegallega terdiri dari 2 strata vegetasi, yaitu strata B yang terdiri dari pohon dengan ketinggian lapisan tajuk penyusun antara 15 – 29 meter. Jenis-jenis pohon yang mengisi strata B diantaranya adalah Switenia mahagoni dan Pterocarpus indicus,. Pada strata C yaitu ketinggian tajuk antara 0 – 14 meter diisi oleh kelompok tanaman hias herba seperti Canna hybrida, tanaman perdu jenis Duranta erecta, dan tanaman Lagerstroemia speciosa, Syzigium polyanthum, Bauhinia purpurea, Persea americana, Roystonia regia, Pinus merkusii, dan Cassia siamea.

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan informan kunci, yaitu Bapak Udin (50 tahun, Petugas Kebersihan), didapatkan bahwa pernah terjadi aktivitas perburuan burung oleh manusia di Taman Tegallega. Adapun burung yang menjadi sasaran perburuan adalah burung Kutilang (Pycnonotus aurigaster). Meskipun demikian perburuan burung tersebut terjadi telah sangat lama, yaitu tahun 1980-an. Pada kondisi sekarang perburuan tersebut tidak terjadi kembali, karena Taman Tegallega memiliki penjagaan dan perawatan yang intensif dari pengelola taman. Taman ini menjadi pusat perhatian seluruh dunia pada tahun 2005 yang lalu, karena seluruh peserta Konferensi Asia Afrika melakukan penanaman pohon secara serempak di beberapa titik di kawasan ini. Hal ini telah menambah jumlah inventaris tumbuhan yang berada di taman ini.

Aktivitas pengunjung Taman Tegallega dapat dikategorikan sebagai taman dengan tingkat aktivitas keramaian tinggi. Setiap hari biasa dan hari libur, taman Tegalega dipenuhi oleh para pengunjung yang memanfaatkan taman ini sebagai arena olahraga, pertunjukan seni, bahkan menjadi pasar dan juga aktivitas santai lainnya. Sampai sejauh ini aktivitas keramaian tersebut belum mengganggu kehidupan liar khususnya burung, karena aktivitas tersebut terkonsentrasi pada titik-titik tertentu seperti di sekitar monumen perjuangan Bandung Lautan Api yang jaraknya cukup jauh dari kawasan yang memiliki vegetasi pohon dimana banyak burung Taman Tegallega menjadikannya sebagai habitat alaminya.

  • Analisis Hubungan Keanekaragaman Burung dengan Lansekap Kota BandungHubungan Keanekaragaman Burung dengan Variabel Lansekap Setiap Taman Kota

Berdasarkan analisis hubungan (korelasi) keanekaragaman burung dengan lansekap Taman Kota Bandung yang menggunakan software SPSS, beberapa variabel lansekap taman kota berhubungan langsung dengan indeks-indeks pada burung. Adapun variabel lansekap taman kota yang tidak berhubungan dengan indeks-indeks burung akan mempengaruhi burung tersebut secara tidak langsung.

Dari sekitar 69 variabel lansekap dan variabel sistem informasi geografi yang dikorelasikan dengan indeks keanekaan (diversitas), indeks perataan, dan jumlah jenis burung pada enam taman kota, terdapat empat variabel yang berhubungan dengan keanekaan (diversitas) dan Indeks Perataan burung. Hasil korelasi ke-empat variabel lansekap dengan data burung terdapat pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8  Korelasi Pearson software SPSS Antara Indeks Burung dengan Empat Variabel Lansekap yang Signifikan

Korelasi PearsonJumlah Jenis BurungIndeks Diversitas BurungIndeks Perataan BurungLuas TamanStandar Deviasi Perimeter Vegetasi RumputRata -rata Ukuran BercakStandar Deviasi Ukuran Bercak Vegetasi Rumput
Jumlah Jenis Burung0.7890.8260.2130.895
Indeks Diversitas Burung0.030*0.1080.009**0.084
Indeks Perataan Burung0.020*0.049*0.058*0.037*
Luas Taman0.7890.030*0.020*
Standar Deviasi Perimeter Vegetasi Rumput0.8260.1080.049*
Rata -rata Ukuran Bercak0.2130.009**0.058
Standar Deviasi Ukuran Bercak Vegetasi Rumput0.8950.0840.037*

Keterangan:  ** Korelasi Signifikan pada Level 0,01

         * Korelasi Signifikan pada Level 0,05

 Variabel Burung
 Variabel Lansekap

Tiga diantara variabel lansekap yang berkorelasi adalah variabel yang terdapat pada sistem informasi geografi hasil analisis Program r.le, yaitu:

  1. Parameter Perimeter, yaitu standar deviasi perimeter pada vegetasi rumput, signifikan dengan indeks perataan burung pada level 0,05
  2. Parameter Size, yaitu rata-rata ukuran bercak, signifikan dengan indeks diversitas burung pada level 0,01
  3. Standar deviasi ukuran bercak pada vegetasi rumput, signifikan dengan indeks perataan burung pada level 0,05

Dari ketiga variabel tersebut dapat diketahui bahwa hubungannya tidak dipengaruhi oleh indeks diversitas dan perataan burung, melainkan dipengaruhi oleh variabel lansekap yang lain, yaitu luas masing-masing taman kota. Luasan setiap taman kota berbanding lurus dengan standar deviasi perimeter pada vegetasi rumput, rata-rata ukuran bercak, dan standar deviasi ukuran bercak pada vegetasi rumput. Akan tetapi luas keenam taman kota tersebut berbanding terbalik dengan indeks diversitas burung, karena semakin luas taman kota tersebut maka tingkat diversitas burungnya akan semakin kecil. Berdasarkan data tersebut, keanekaragaman burung di enam taman kota tidak terlalu dipengaruhi oleh luasan taman kota, akan tetapi dipengaruhi oleh kualitas habitat burung seperti vegetasi penyusun taman. Sebagai contoh Taman Tegallega, walaupun memiliki ukuran taman yang paling luas dibandingkan kelima taman yang lainnya, akan tetapi taman ini memiliki indeks keanekaan burung yang paling kecil karena kualitas habitatnya yang kurang mendukung kehidupan burung.

Hasil uji statistik korelasi antara data burung dengan variabel sistem informasi geografi tidak berkorelasi satu sama lain, karena angka-angka statistik yang dihasilkan tidak signifikan, namun faktor – faktor lansekap tersebut seharusnya saling berkorelasi. Setiap taman kota memiliki keunikan tersendiri, dalam hal ini terdapat faktor – faktor khas yang tidak dimiliki oleh taman kota lainnya. Faktor-faktor khas tersebut berupa variabel lansekap yang terdapat pada setiap taman kota yang tidak dapat dikorelasikan melalui metode statistik, akan tetapi memiliki peran yang sangat penting bagi setiap jenis burung di dalam pemilihan habitat.

Faktor khas yang dimiliki setiap taman kota antara lain faktor komposisi dan stratifikasi vegetasi. Faktor ini diperkirakan sebagai faktor yang paling mempengaruhi keanekaragaman burung di setiap taman kota, walaupun pada penelitian kali ini tidak dilakukan analisis vegetasi secara kuantitatif dikarenakan keterbatasan peneliti. Hasil penggambaran diagram profil setiap taman dibandingkan stratifikasinya dan jumlah tumbuhan yang terdapat pada transek seperti yang terdapat pada Tabel 4.9. Hasil dari penggambaran diagram profil tersebut dapat mengurangi kelemahan citra satelit, dimana proyeksi citra satelit tidak dapat menembus tumbuhan lapisan bawah seperti vegetasi rumput yang ternaungi oleh tumbuhan lapisan atas (vegetasi pohon).

Tabel 4.9  Stratifikasi Tumbuhan pada Transek Diagram Profil di Enam Taman Kota Bandung

Keterangan: Strata A = Ketinggian lapisan tajuk 30 – 45 meter

   Strata B = Ketinggian lapisan tajuk 15 – 29 meter

   Strata C = Ketinggian lapisan tajuk 0 – 14 meter

   H’ = Indeks Keanekaan jenis Burung

Berdasarkan Tabel 4.9, terlihat bahwa taman kota yang memiliki tiga strata tumbuhan akan sangat mendukung kehidupan burungnya, berbeda dengan taman kota yang hanya memiliki dua strata tumbuhan. Hal ini terlihat dari indeks keanekaan dan jumlah jenis burung yang cukup tinggi di Taman Ganesha, Taman Maluku dan Taman Merdeka yang memiliki tiga strata tumbuhan. Menurut Nurwatha (1995) jenis – jenis burung yang umum dijumpai di taman kota, dalam melakukan aktivitas makannya dapat dikelompokkan ke dalam dua tipe burung, yaitu jenis – jenis yang memanfaatkan lantai taman (permukaan tanah) dan jenis – jenis yang tidak pernah tercatat turun ke lantai yaitu pada strata vegetasi atas. Oleh karena itu, semakin banyak strata vegetasi maka keanekaragaman burung akan semakin tinggi karena ketersediaan sumber makanan yang terdapat pada setiap lapisan vegetasi akan semakin bervariasi. Hal tersebut akan sangat mendukung setiap jenis burung di dalam pemilihan tenpat bersarang, tempat bertengger dan tempat berlindung.

Selain strata vegetasi, jumlah jenis dan individu tumbuhan juga akan sangat berpengaruh terhadap jumlah jenis burung, seperti Taman Cilaki yang memiliki jumlah individu tumbuhan yang rendah dan juga hanya terdiri dari dua strata tumbuhan saja, sehingga taman ini memiliki jumlah jenis burung yang paling kecil (20 jenis). Berbeda halnya dengan Taman Tegallega yang memiliki dua strata tumbuhan, namun jumlah individu tumbuhan yang berada pada ketinggian lapisan tajuk lebih dari 15 meter hanya sedikit, hal ini menunjukkan umur vegetasi taman ini paling muda. Oleh karena itu indeks keanekaan burung Taman Tegallega nilainya paling rendah (H1 = 1,543 ; J1 = 0,524) jika dibandingkan dengan ke-lima Taman Kota Bandung lainnya.

  • Keanekaragaman Burung yang Dipengaruhi oleh Lansekap Kota Bandung

Lansekap Kota Bandung yang berbentuk cekungan danau purba membentang dari utara ke selatan, dan dari timur ke barat. Berdasarkan citra satelit SPOT-5 tahun 2003, diantara ke-empat arah mata angin di kota Bandung, kawasan utara Kota Bandung merupakan kawasan yang memiliki ruang terbuka hijau yang lebih luas dibanding kawasan lainnya. Ruang terbuka hijau yang merupakan habitat alami burung terbentang di kawasan Bandung Utara tepatnya di Taman Hutan Raya Djuanda (Gambar 4.22). Kawasan ini diperkirakan sebagai sumber dari burung-burung yang menghuni Taman-taman Kota Bandung, karena letaknya yang tidak jauh dari beberapa taman kota dan memiliki koridor hijau yang berfungsi sebagai jalur lalulintas beberapa jenis burung di Kota Bandung. Di sebelah Timur Laut Kota Bandung terdapat juga ruang terbuka hijau yang cukup luas, tepatnya di kawasan Bukit Ligar – Bojong Koneng – Lembang (Gambar 4.22). Kawasan ini tidak memiliki koridor hijau yang menghubungkan dengan Taman Kota Bandung, sehingga beberapa jenis burung di taman kota diperkirakan tidak melakukan mobilisasi dengan dengan kawasan tersebut.

Tabel 4.10 Perbandingan Jarak Antar Taman Pengukuran secara Langsung, Indeks Kesamaan Optimum, Keanekaan, Perataan, dan Jumlah Jenis Burung di Taman Kota Bandung

                  JTL             IKOTGTCTMLTLTMRTTTDKPH’J’T
Taman  Ganesha 12301550166016504180430060002,3940,78636
Taman  Cilaki28,91 845117016003700490050001,9560,76320
Taman  Maluku32,1131,86 1453902710570039001,9220,65326
Taman  Lalulintas32,1132,0927,69 3052360600038002,1620,73426
Taman  Merdeka31,6530,0427,3027,15 2080600036002,4170,82125
Taman  Tegalllega32,1833,6128,9328,9329,58 860017001,5430,52427
TG :  Taman Ganesha TC :  Taman Cilaki TML: Taman Maluku TL:   Taman Lalulintas TMR: Taman Merdeka TT:    Taman Tegallega TD:   TAHURA Djuanda KP:   Kawasan Pertanian    

Keterangan:

IKO :   Indeks Kesamaan Optimum

JTL :   Jarak Taman Langsung (satuan meter)

H ’  :    Indeks Keanekaan jenis Burung

J ’   :    Indeks Perataan jenis Burung

T    :    Jumlah Jenis Burung

 Nilai indeks kesamaan burung paling tinggi
 Nilai indeks kesamaan burung paling rendah

Beberapa taman kota memiliki koridor hijau berupa pepohonan yang tumbuh di pinggiran jalan atau sungai, akan tetapi terdapat juga taman kota yang tidak memiliki koridor hijau dan jauh dari daerah sumber burung, yaitu Taman Tegallega yang terletak di sebelah selatan kota Bandung. Karena kondisinya yang tidak memiliki koridor hijau sebagai jalur lalulintas burung, taman ini diperkirakan terisolasi dari kawasan hijau di Kota Bandung (Tabel 4.11).

Keterangan:     Vegetasi Pohon   Vegetasi Rumput   Non Vegetasi Sumber: Citra Satelit SPOT-5 tahun 2003        2000 Meter   A = Taman Ganesha B = Taman Cilaki C = Taman Maluku D = Taman Lalulintas                                                   E = Taman Merdeka F = Taman Tegallega G = Taman Hutan Raya Djuanda H = Bukit Ligar-Bojong Koneng-Lembang

Gambar 4.22  Lansekap Kota Bandung

Taman Tegallega memiliki indeks keanekaan dan perataan burung terkecil diantara taman kota yang lain. Hal ini sebagai akibat dari terisolirnya taman ini dan juga dikarenakan faktor-faktor lansekap lainnya seperti penutupan lahan yang didominasi oleh vegetasi rumput dan non vegetasi. Adapun vegetasi pohonnya hanya memiliki dua strata vegetasi (lihat Tabel 4.9) sehingga kurang mendukung bagi kehidupan beberapa jenis burung. Selain itu umur vegetasi yang masih muda jika dibandingkan dengan lima taman kota lainnya mempengaruhi keanekaragaman burung yang terdapat di dalamnya. Walaupun demikian, Taman Tegallega berada pada urutan ke-dua (27 jenis burung) setelah Taman Ganesha dalam hal jumlah jenis burung. Akan tetapi jenis-jenis burung yang menghuni Taman Tegallega banyak yang berbeda dengan taman kota lainnya.

Tabel 4.11 Perbandingan Jarak Antar Taman Pengukuran melalui Koridor Hijau, Indeks Kesamaan Optimum, Keanekaan, Perataan, dan Jumlah Jenis Burung di Taman Kota Bandung

                  JTK             IKOTGTCTMLTLTMRTTTDKPH’J’T
Taman  Ganesha 155025502735288061002,3940,78636
Taman  Cilaki28,91 12001600230076001,9560,76320
Taman  Maluku32,1131,86 14553086001,9220,65326
Taman  Lalulintas32,1132,0927,69 58088002,1620,73426
Taman  Merdeka31,6530,0427,3027,15 89002,4170,82125
Taman  Tegalllega32,1833,6128,9328,9329,58 1,5430,52427
TG :  Taman Ganesha TC :  Taman Cilaki TML: Taman Maluku TL:   Taman Lalulintas TMR: Taman Merdeka TT:    Taman Tegallega TD:   TAHURA Djuanda KP:   Kawasan Pertanian    

Keterangan:

IKO :   Indeks Kesamaan Optimum

JTK :   Jarak Taman melalui Koridor Hijau (satuan meter)

H ’  :    Indeks Keanekaan jenis Burung

J ’   :    Indeks Perataan jenis Burung

T    :    Jumlah Jenis Burung

 Nilai indeks kesamaan burung paling tinggi
 Nilai indeks kesamaan burung paling rendah

Apabila melihat indeks kesamaan burung (Tabel 4.11), Taman Tegallega memiliki indeks kesamaan burung yang hampir mirip dengan Taman Cilaki (IKO = 33,61). Kedua taman tersebut hanya memiliki dua strata vegetasi (strata B dan C) dan jenis tumbuhan yang kurang bervariasi sehingga burung yang terdapat di dua taman ini tergolong kosmopolitan yaitu jenis burung yang mudah ditemukan dimana saja karena jenis ini dapat beradaptasi dengan baik di sekitar lingkungan yang dekat dengan aktivitas manusia dan tidak terlalu membutuhkan habitat alami, seperti Taman Kota Bandung yang merupakan habitat binaan manusia. Hanya perbedaannya pada Taman Tegallega catatan jumlah jenis burung ditambah dengan jenis-jenis yang biasa ditemukan di daerah pertanian dan jenis-jenis burung yang biasa dipelihara oleh masyarakat.

Tercatat sedikitnya lima jenis burung Cici Padi (Cisticola juncidis), Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides), Bondol Peking (Lonchura punctulata), Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius)dan Perenjak Jawa (Prinia familiaris) yang biasa menghuni daerah pertanian dan hanya ditemukan di Taman Tegallega. Jenis-jenis tersebut tidak menutup kemungkinan berasal dari lahan pertanian yang terdapat di kawasan selatan Bandung, walaupun taman ini tidak memiliki koridor hijau bersambungan yang menghubungkannya dengan kawasan tersebut, akan tetapi Taman Tegallega merupakan taman kota yang paling dekat jaraknya dengan kawasan pertanian yang berupa areal persawahan.

Di Taman Tegallega tercatat juga dua jenis burung Kucica Kampung (Copsychus saularis) dan Cica-kopi Melayu (Pomatorhinus montanus) yang biasa dipelihara oleh masyarakat dan hanya ditemukan di Taman Tegallega. Jenis-jenis tersebut diperkirakan berasal dari burung peliharaan yang terlepas dari sangkar, karena kedua jenis tersebut merupakan jenis yang umum dipelihara oleh masyarakat Kota Bandung. Selain itu tidak jauh dari lokasi penelitian terdapat pemelihara burung yang memelihara jenis serupa. Alasan yang memperkuat kemungkinan kedua jenis burung tersebut merupakan lepasan adalah habitat alaminya. Jenis Copsychus saularis biasanya ditemukan di habitat hutan dataran rendah dan jenis Pomatorhinus montanus biasanya ditemukan di habitat hutan dataran tinggi (MacKinnon, 1998). Berbeda  halnya dengan Taman Kota Bandung yang dapat dikelompokkan ke dalam habitat binaan manusia.

Taman Merdeka memiliki indeks keanekaan dan perataan burung terbesar (2,417) diantara taman kota yang lain. Hal ini tidak terlepas dari faktor-faktor lansekap yang terdapat pada Taman Merdeka, seperti faktor sejarah. Taman ini adalah taman pertama yang dibangun di Kota Bandung yaitu tahun 1885. Oleh karena itu taman ini memiliki komunitas yang lebih tua seperti pohon – pohonnya yang tua dibandingkan dengan taman kota yang lain. Hal ini sesuai dengan teori Odum, 1993 yang menyebutkan bahwa keanekaragaman jenis cenderung lebih tinggi di dalam komunitas yang lebih tua dibandingkan dengan di dalam komunitas yang baru terbentuk.

Indeks Penutupan lahan secara horizontal yang didominasi oleh vegetasi pohon seperti Beringin (Ficus benjamina) adalah salah satu faktor yang menyebabkan tingginya indeks keanekaan burung di Taman Merdeka. Selain itu ditunjang juga dengan stratifikasi vegetasi di taman ini yang terdiri dari tiga strata (Tabel 4.9). Hal ini sangat mendukung bagi kehidupan burung, semakin beraneka keadaan tajuk vegetasi pada suatu habitat akan semakin beraneka juga burung yang berada di habitat tersebut (MacArthur & MacArthur, 1961). Sama halnya dengan Taman Ganesha yang memiliki jumlah jenis burung paling besar. Taman Ganesha ditunjang juga dengan variabel vegetasi yang mendukung bagi kehidupan burung. Perbedaannya adalah di Taman Merdeka tingkat gangguan dari aktivitas manusia lebih kecil dibandingkan dengan yang terjadi di Taman Ganesha, sehingga keanekaan burung di Taman Merdeka lebih besar.

Taman Ganesha memiliki jumlah jenis burung paling besar (36 jenis) yang ditunjang dengan variabel vegetasinya. Selain itu letaknya yang paling dekat dengan daerah sumber burung yaitu Taman Hutan Raya Djuanda memungkinkan Taman Ganesha menjadi jalur lalulintas burung yang terdapat di kota Bandung. Koridor hijau yang terbentuk mengarah ke utara, dari mulai sepanjang kampus Institut Teknologi Bandung dan Kebun Binatang Bandung yang merupakan salah satu bercak (patch) menuju ke arah bercak yang lain, yaitu Babakan Siliwangi sampai ke Taman Hutan Raya Djuanda. Koridor hijau tersebut terdapat juga di sepanjang aliran Sungai Cikapundung dan di beberapa titik di pinggiran jalan menuju daerah yang diperkirakan sebagai sumber burung.

Jarak antara taman yang satu dengan taman yang lainnya bukanlah faktor penentu utama dari tingkat kesamaan jenis burung di setiap taman kota. Taman Maluku, Taman Lalulintas dan Taman Merdeka adalah taman yang letaknya berdekatan dan masing-masing dihubungkan dengan koridor hijau. Akan tetapi ketiga taman tersebut memiliki indeks keanekaan dan perataan burung yang berbeda, walaupun ketiganya memiliki jumlah jenis burung yang hampir sama (Taman Maluku = 26, Taman Lalulintas = 26, Taman Merdeka = 25). Hal ini dipengaruhi oleh variabel lansekap setiap taman yang berbeda.

Diantara ketiganya Taman Maluku memiliki indeks keanekaan dan perataan burung yang paling kecil, karena Taman Maluku memiliki indeks penutupan lahan non vegetasi yang cukup besar dan kawasan disekitarnya didominasi oleh bangunan gedung – gedung dan lapangan rumput sebagai habitat yang cocok bagi jenis burung yang hidup berdekatan dengan manusia seperti Burung Gereja (Passer montanus). Sehingga populasi Burung Gereja di Taman Maluku mendominasi jenis-jenis burung yang lain. Selain itu di sekitar taman ini selalu menumpuk timbunan sampah dan limbah rumah tangga yang merupakan sumber makanan dari Burung Gereja.

            Jenis burung yang hanya terdapat di tiga taman kota (Taman Ganesha, Taman Maluku, Taman Lalulintas) yaitu Betet Biasa (Psittacula alexandri) dan Serindit Jawa (Loriculus pusillus). Kedua jenis burung paruh bengkok tersebut memiliki catatan Apendiks CITES II dan hanya ditemukan di tiga taman kota. Kemungkinan besar alasan hanya ditemukan di tiga taman ini adalah dipengaruhi oleh jarak taman yang dihubungkan dengan koridor hijau sebagai jalur lalulintas burung tersebut. Adapun alasan mengapa burung ini tidak ditemukan di Taman Merdeka yaitu selain faktor jarak dan koridor taman, juga terdapat faktor jenis vegetasi sumber pakan yang mempengaruhi preferensi habitat kedua jenis burung paruh bengkok ini. Selama penelitian berlangsung jenis Psittacula alexandri sering ditemukan sedang memecah buah pada pohon Ganitri (Elaeocarpus ganitrus) di Taman Ganesha, Taman Lalulintas dan Taman Maluku. Hal ini berarti keberadaan Psittacula alexandri diperkirakan dipengaruhi oleh pohon Ganitri (Elaeocarpus ganitrus) sebagai sumber pakan utamanya.

Bedana Abdi Alloh jeung Abdi Syaitan

Mei 16, 2011

Abdi Alloh mah teu sieun ku sagalana, boro-boro kaleungiteun harta jeung banda, leungit nyawa ge Abdi Alloh mah teu sieun. Tegesna lamun manusa geus jadi Abdi Alloh dimana nyinghareupan parentah ti Alloh keur kapentingan bersama umat manusa tara oyag bulu salambar, boro-boro leungit harta leungit nyawa ge teu sieuneun sabab Abdi Alloh boga kayakinan, paehna moal rugi surga buruhna, kajeun aya seuneu naraka teu oyag bulu salambar da naraka na ge moal ngegel kana kulitna. Atuh lamun Abdi Alloh teu sieun paeh mah, Abdi Alloh teh sok hayang paeh??? tah didieu kaliruna…

Lamun aya jalema sok menta paeh eta teh lain Abdi Alloh tapi Abdi Syetan, naon sababna? Dimana hayang paeh pasti embungeun hirup, dimana embung hirup nolak kana amanah ti Alloh, padahal hirup lain meunang pesen, tapi amanah ti Alloh pikeun kumawula ka Anjeunanana.

Conto, sok aya geningan jelema anu gering lila teuing tuluy ngomongna “Aduh Gusti ari kieu-kieu teuing teh mugiya abdi enggal dipundut weh…” Abdi syaitan eta teh.

Conto nu lain mah aya anu nepikeun ka ngagantung maneh. Jadi lamun aya jelema nu sok hayang paeh lain Abdi Alloh, tapi Abdi Syaitan, da ari Abdi Alloh mah teu sieun paeh tapi tara hayang paeh.

Atuh ari tara hayang paeh mah Abdi Alloh teh sok hayang kana hirup??

Tah didieu bedana, lamun aya jelema anu kokomoan kana hirup eta teh lain Abdi Alloh, tapi Abdi Syaitan, da ari Abdi Alloh mah tara kokomoan kana hirup. Naha ari anu kokomoan kana hirup disebut Abdi Syaitan, naon sababna?? Dimana jelema kokomoan kana hirup eta teh embungeun paeh, dimana embungeun paeh manehna tara tanggung jawab.

Abdi Alloh mah sanggup hirup – rela paeh… Pangna sanggup hirup, sabab hirup lain meunang pesen tapi amanah ti Alloh.

Pangna rela paeh, sabab boga kayakinan paehna moal rugi surga buruhna, kajeun aya seuneu naraka teu oyag bulu salambar sabab naraka-na ge moal ngegel kana kulitna. Standar Abdi Alloh mah, teu sieun ku naon-naon, asal Alloh weh nu nitahna.

#dicutat tina ceramah sunda Alm. KH. AF. Ghazali#

CERITA DI BALIK LOMBA PENGAMATAN BURUNG TINGKAT NASIONAL ”UJUNG PANGKAH WATER BIRD WATCHING RACE 2008”

April 24, 2010

Cerita ini berawal ketika kami “Biconers” melakukan evaluasi event Hari Bumi “Dago Walking Day “ di Sasana Budaya Ganesha ITB. Ketika itu kami membahas mengenai acara yang telah dilakukan dan yang akan dilakukan ke depannya seperti memperingati Hari Cinta Satwa Puspa Nasional dimana salah satu acaranya akan diisi oleh lomba pengamatan burung (bird race) yang rencananya akan diselenggarakan sekitar bulan November 2008. Seiring dengan rencana kegiatan tersebut kami pun sepakat untuk memulai menginformasikan dan mempromosikannya melalui pendelegasian anggota BICONS pada kegiatan bird race yang diadakan oleh Himabio ITS – Surabaya yang akan berlangsung dari tanggal 25 – 27 April 2008. Singkat cerita terbentuklah satu tim Bicons yang terdiri dari tiga orang anggota Bicons yaitu Puput, Ima dan saya sendiri.

Dengan diiringi oleh doa dan restu dari biconers yang lain kami pun berangkat pada hari Kamis tanggal 24 April 2008 diantarkan oleh koordinator Bicons Kang Tedi menuju Stasion Bandung. Kami berangkat menuju Surabaya menggunakan Kereta Api Mutiara Selatan sekitar pukul 5 sore bersama dengan tim dari Himbio Unpad yang waktu itu mengirimkan 2 tim…

Ketika di perjalanan kami belajar dan berdiskusi mengenai burung air (water bird), karena bagi kami sebagai orang Bandung yang kesehariannya tinggal di gunung dan jauh dari laut, burung air adalah sesuatu yang selalu menjadi “tantangan” untuk diamati. Beberapa jenis burung air pun sempat terlihat dan menjadi bahan untuk berdiskusi pada saat kereta melewati areal persawahan Gedebage dan Rancaekek. Dua jenis diantaranya adalah jenis yang cukup umum ditemukan, yaitu Blekok sawah (Ardeola speciosa) dan Kuntul kerbau (Bubulcus ibis) yang sering terlihat terbang membentuk formasi huruf V pada saat sore hari.

Kereta pun berlalu meninggalkan burung-burung dan kota Bandung menuju ke arah timur menjauhi matahari yang waktu itu tenggelam di ufuk barat…

Banyak kota kami lewati dan beberapa kota kami singgahi karena kereta yang kami tumpangi memang harus singgah di kota tersebut. Kroya, Gombong, Kebumen, Yogyakarta, Solobalapan, Madiun, Nganjuk, Kertosono, Jombang, Mojokerto…

14 jam berlalu tibalah kami di Stasion Gubeng yang merupakan salah satu stasion besar di Kota Surabaya. Setibanya di sana kami disambut oleh kawan kami yang bernama Asih yang baru lulus dari Universitas Airlangga. Kami kenal dengannya lewat event bird race yang biasa kami ikuti. Dia pun ikut dan mengantarkan kami sampai ke kampus ITS. Di sana kami disambut oleh panitia bird race ITS.

Perjalanan yang jauh dan suhu Surabaya yang panas membuat kami semua menanyakan hal yang sama pada panitia, “Mba mba… kamar mandinya dimana yah?”. Sambil mengantri kamar mandi, kami pun bersosialisasi dengan para peserta yang lain. Jumlah total peserta adalah 22 tim terdiri dari organisasi mahasiswa, LSM, kelompok pecinta burung, dan satu tim dari SMA. Peserta yang hadir waktu itu yang paling jauh berasal dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dan peserta yang berasal dari luar Jawa adalah Himabio Universitas Udayana Bali.

Sekitar pukul 13.00 kami bersama peserta lainnya mengikuti technical meeting dan pembukaan acara yang dibuka oleh Dekan FMIPA ITS dengan acara simbolik pelepasan beberapa ekor burung Bondol peking (Lonchura punctulata).

Lokasi perlombaan dibagi menjadi tiga lokasi yaitu Kampus ITS, Pertambakan Ujung Pangkah Gresik, dan Muara Sungai Bengawan Solo Gresik.

Tepat pada pukul 15.00 perlombaan pun dimulai di lokasi yang pertama yaitu Kampus ITS. Para peserta tampak mempersiapkan senjatanya masing-masing, mereka bergegas menuju lokasi yang diperkirakan menjadi habitat burung yang paling melimpah. Dengan binokuler yang menggantung di leher dan tiang tripod yang terpasang berikut monokulernya telah disiapkan untuk membidik sasaran buruan burung-burung kawasan Kampus ITS, dan perlombaan pun dimulai… the battle has begun… Biconers!!!..let’s beat them all!!!…

Kawasan kampus ITS dihuni oleh 56 jenis burung, data tersebut didapatkan dari salah seorang teman kami yang selalu melakukan pengamatan burung kampus secara rutin. Akan tetapi pada sore itu kami hanya dapat menemukan 28 jenis saja, yaitu jenis yang biasanya umum terlihat dan terdapat di Bandung juga. Sebagian besar burung yang berhasil kami catat ditemukan di wilayah hutan kampus. ITS memang memiliki kawasan hutan kampus yang cukup luas dengan komposisi vegetasi yang beranekaragam. Beberapa bagian lahannya dijadikan tambak atau tempat pemancingan, sedangkan sebagian lagi ditanami pohon-pohon pelindung jalan, pohon buah, tanaman budidaya, dan ada yang dibiarkan liar sehingga ditumbuhi semak-semak dan tumbuhan air lainnya. Kondisi demikian menjadikan beberapa jenis burung air seperti Kareo padi (Amarournis phoenicurus) dan burung semak seperti Kerakbasi kecil (Acrocephalus stentoreus) dan juga keluarga burung Perenjak (Prinia spp.) jumlahnya melimpah di kawasan tersebut.

Pengamatan pun berakhir ketika menjelang maghrib, para peserta mengumpulkan hasil pengamatan yang ditulis pada buku notes kepada panitia. Peraturan perlombaan pengamatan burung di ITS ini melarang peserta membawa buku panduan burung (field guide), sehingga apabila peserta menemukan satu jenis burung maka peserta diharuskan membuat sketsa beserta deskripsinya pada buku kecil yang telah dibagikan untuk meyakinkan tim juri bahwa peserta betul-betul telah melihat jenis tersebut, dan yang lebih penting lagi adalah agar peserta terbiasa dengan pengamatan burung yang baik dan benar.

Sekitar pukul 20.00 para peserta berangkat menuju lokasi pengamatan selanjutnya yaitu di Muara Sungai Bengawan Solo atau disebut dengan Delta Solo atau Ujung Pangkah yang terletak di kabupaten Gresik. Lokasi tersebut merupakan kawasan yang menjadi daerah penting bagi burung (important bird area/IBA) terutama burung air, yaitu berdasarkan publikasi dari BirdLife International tentang kawasan penting bagi burung di dunia. Waktu tempuh untuk menuju lokasi tersebut kurang lebih 2 jam dari kampus ITS. Kami menempuhnya menggunakan bis yang disediakan oleh panitia. Sesampainya di sana kami langsung mendirikan tenda di dekat pemukiman masyarakat dan letaknya tak jauh dari kantor nelayan yang biasanya dijadikan sebagai tempat pelelangan ikan.

Pada pagi harinya setelah sholat shubuh dan melakukan sarapan, kami bersiap-siap untuk berangkat menuju lokasi pengamatan yang kedua yaitu di areal pertambakan Ujung Pangkah. Kami berjalan menyusuri tegalan-tegalan di pinggiran tambak sambil mengarahkan teropong yang menjadi senjata andalan kami. Iringan burung kuntul (Egretta spp.) yang berwarna putih menyambut kehadiran kami, diselingi dengan riuhnya suara Merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier) dan Kapasan kemiri (Lalage nigra) juga tak ketinggalan merdunya kicauan Cipoh kacat (Aegithina tiphia) menambah semaraknya perlombaan itu. Sesekali terlihat kelompok burung Dara-laut dari jenis Chlidonias spp. dan Sterna spp. terbang melintasi para peserta lomba pengamatan. Burung Cekakak sungai (Todirhampus chloris) yang hampir mirip dengan saudaranya Cekakak suci (Todirhampus sanctus) membuat kami sedikit berlama-lama mengamati, karena perbedaannya yang tipis pada warna perutnya, dimana pada Cekakak suci warnanya lebih kuning dan kusam, juga ukurannya yang lebih kecil. Menurut literatur, jenis tersebut migran selama musim dingin dari Australia, yaitu bulan April sampai September.

Saat mentari mulai naik dan udara semakin panas kami pun berteduh di bawah pohon bakau-bakau Rhizophora spp. dan Avicennia spp. sambil mengamati kelompok bebek yang sedang berenang dan sesekali terlihat menyelam mencari mangsa pada tambak ikan tepat di depan tempat kami sedang berteduh. Rupanya yang kami lihat adalah jenis Itik alis-putih (Anas querquedulla), dan jenis bebek lainnya yaitu Belibis batu (Dendrocygna javanica) terlihat sedang berkejaran satu sama lain. Tak jauh dari lokasi tersebut terdapat sarang-sarang kelompok Kuntul (Egretta spp) yang tersusun pada kanopi pohon-pohon bakau yang letaknya berada di tengah-tengah tambak. Tercatat diantaranya jenis Kuntul besar (Egretta alba), Kuntul kecil (Egretta garzetta), Kuntul perak (Egretta intermedia), dan keluarga Kuntul lainnya. Beberapa jenis burung air lainnya juga tercatat pada tempat yang sama, seperti jenis Kokokan laut (Butorides striatus), kelompok Bambangan dari mulai Bambangan merah (Ixobrychus cinnamomeus), Bambangan coklat (Ixobrychus eurhythmus), sampai Bambangan kuning (Ixobrychus sinensis) dan tak ketinggalan juga si Kowak-malam kelabu (Nycticorax nycticorax) yang sekarang menjadi burung air khas Kota Bandung, burung yang kini menjadi maskot Sunday Bird Watching-nya Bicons.

Selain burung air, kami juga mencatat jenis-jenis yang lain, diantaranya Raja-udang Biru (Alcedo coerulescens) yang terlihat sedang terbang melesat menyambar ikan dari pohon yang menjadi tenggerannya, dimana pohon tersebut dihuni juga oleh Kekep babi (Artamus leucorhynchus) yang bertengger pada puncak pohon kering tersebut. Beberapa meter dari sana terlihat burung Kipasan belang (Rhipidura javanica) yang sedang mengejar burung Kacamata jawa (Zosterops flavus), tampaknya dia merasa terganggu karena sarangnya di dekati oleh burung tersebut.

Beberapa jenis burung tercatat terbang tinggi melintasi areal pertambakan, satu diantaranya adalah jenis Gagang-bayam timur (Himantophus leucocephalus) yang bentuk tubuh dan kakinya memanjang dengan warna dominan putih dan warna hitam pada tubuh bagian belakang. Jenis burung lainnya adalah Cangak laut (Ardea sumatrana) yang arah terbangnya tampak menuju laut, kemudian beberapa menit setelahnya tampak tiga ekor Gagak hutan (Corvus enca) terbang dari arah yang berlawanan. Pecuk-padi hitam (Phalacrocorax sulcirostris) dan Pecuk-padi kecil (Phalacrocorax niger) berhasil kami identifikasi, sangat tipis memang perbedaan diantara keduanya, yaitu pada paruh yang berwarna kuning pada Pecuk-padi kecil dan warna hitam pada Pecuk-padi hitam.

Pengamatan waktu itu berakhir saat mentari tepat di atas kepala kita, dan seluruh peserta kembali menuju basecamp untuk melanjutkan pengamatan di lokasi yang ketiga.

Lokasi pengamatan selanjutnya adalah Muara Sungai Bengawan Solo yang dapat ditempuh dengan menggunakan perahu. Siang itu sebanyak 22 tim ditambah dengan panitia dan juri berangkat menuju muara sungai dengan menggunakan lima perahu nelayan.

Para peserta mulai melakukan pengamatan di sepanjang perjalanan dari atas perahu. Agak sulit memang pengamatan yang kami lakukan, karena perahu tidak bisa diam dan selalu terombang-ambing oleh gelombang ombak yang menghantam perahu. Kendati demikian, kami harus tetap berkonsentrasi penuh mengamati lingkungan sekitarnya, siapa tahu saja ada jenis burung yang belum tercatat oleh kami.

Tanpa terasa ke-empat perahu yang lainnya sudah jauh meninggalkan perahu yang kami tumpangi. Mungkin karena kekuatan motornya yang berbeda dengan ke-empat perahu tersebut akhirnya kami tertinggal jauh di belakang. Kami sedikit kecewa dengan keadaan tersebut, akan tetapi kami juga tidak bisa berbuat banyak, kami hanya bisa memaksimalkan pengamatan dengan menyisir tepian sungai menggunakan teropong kami. Dan hasilnya cukup memuaskan, kami berhasil mencatat jenis-jenis baru, seperti sepasang Bubut besar (Centropus sinensis) yang terlihat terbang pada semak-semak di tepi sungai, dan tak jauh dari sana terlihat Kirik-kirik biru (Merops viridis) yang bertengger bersama kelompoknya di ranting-ranting pohon yang kering. Beberapa jenis burung terlihat menyebrangi sungai, tercatat diantaranya adalah Bambangan hitam (Dupetor flavicollis), Tiong batu (Eurystomus orientalis) dan Gemak loreng (Turnix suscitator).

Setelah beberapa jam berlalu akhirnya perahu sampai di lokasi yang dituju. Rupanya kami harus menunggu surutnya air laut untuk melihat hamparan lumpur (mudflat) pada tepi mangrove yang biasanya dijadikan tempat mencari makan yang paling disukai oleh berbagai jenis burung air.

Saat air laut surut mudflat pun terbentuk, lalu tiba-tiba datanglah rombongan burung air menyerbu lokasi tersebut. Mereka tertarik dengan mudflat karena menyediakan berbagai macam sumber makanan yang disukai, seperti ikan dan berbagai jenis invertebrata berupa kepiting, cacing, mollusca, dan udang-udangan. Selain kelompok burung air seperti Kuntul (Egretta spp.) dan keluarga Ardeidae lainnya, mudflat juga disukai oleh kelompok burung pantai migran (shore birds) yang waktu itu tercatat beberapa jenis, diantaranya dari kelompok Gajahan (Numenius spp.), Trinil (Tringa spp.), dan Biru-laut ekor-blorok (Limosa lapponica). Hadir juga kelompok burung laut (sea birds) dari keluarga Dara-laut (Sternidae) dan Camar (Laridae) yang ikut memeriahkan “pesta laut” waktu itu.

Pengamatan pun berakhir ketika penglihatan pada teropong kami sudah tak jelas lagi, dan ternyata mentari perlahan mulai menenggelamkan diri di ufuk barat. Padahal kami masih belum puas menyaksikan kemeriahan “pesta laut” para “pembelah angkasa” yang jarang sekali kami temui.

Menarik memang, kawasan tersebut kaya akan burung air dan burung liar lainnya. Bagi beberapa peserta, perjalanan tersebut memberikan kesan yang mendalam akan keindahan panorama dan burung-burungnya, pun bagi beberapa peserta lainnya yang tidak terbiasa dengan perjalanan air seperti itu, mereka merasakan pusing dan masuk angin setelah mengalami panas terik di siang harinya dan angin laut yang cukup besar disertai gelombang ombak yang menggoyang-goyang perahu di sepanjang perjalanan.

Pada malam harinya peserta berkumpul di kantor nelayan untuk mengikuti kuis sebagai tambahan poin penilaian tim juri, dan sebelumnya lembar pengamatan beserta buku notes dikumpulkan ke panitia. Setelah kuis selesai acara dilanjutkan dengan sosialisasi, dan tidak lupa kami menyampaikan informasi dan mempromosikan bahwa Bicons akan mengadakan lomba pengamatan burung di Bandung sekitar bulan November.

Setelah acara tersebut kami pun beristirahat untuk mempersiapkan acara keesokan harinya.

Pada Esok harinya peserta mengikuti kegiatan penanaman mangrove di sempadan Bengawan Solo, dan penanaman pohon Ketapang di sepanjang pinggiran sungai Bengawan Solo. Kegiatan tersebut layak ditiru, karena selain dapat memperbaiki habitat burung, penanaman pohon juga penting sebagai penyerap karbon dan pencegah global warming yang menjadi tema dari kegiatan perlombaan ini.

Setelah kegiatan tersebut selesai, peserta kembali dikumpulkan di kantor nelayan untuk mengikuti acara penutupan sekaligus pengumuman pemenang perlombaan. Acara diakhiri dengan pidato yang disampaikan oleh Camat Ujung Pangkah dan Ketua Nelayan Ujung Pangkah mengenai pentingnya menjaga kawasan mangrove sebagai habitat ikan dan burung air.

Kemudian pengumuman pemenang dibacakan oleh perwakilan juri dari Wetlands International Indonesia Program yaitu Kang Ferry Hasudungan, dan berikut susunan pemenang perlombaan:

  • Juara 1 diraih oleh BICONS
  • Juara 2 diraih oleh KPB Nycticorax Universitas Negeri Jakarta
  • Juara 3 diraih oleh Tim 2 KSSL Universitas Gadjah Mada
  • Juara Kawasan Ujung Pangkah Kab. Gresik diraih oleh BICONS
  • Juara Kawasan Kampus ITS Surabaya diraih oleh KSSL Tim 1 UGM

Untuk species kunci pada perlombaan ini adalah:

  1. Tikusan alis putih / White-browed Crake (Porzana cinerea)
  2. Bambangan hitam / Black Bittern (Dupetor flavicollis)
  3. Pecuk padi kecil / Little Cormorant (Phalacrocorax niger)

Dimana dua diantaranya berhasil kami catat keberadaannya.

Prestasi ini merupakan anugerah yang tak ternilai bagi kami yang diberikan Allah SWT, Alhamdulillah…

Ucapan terima kasih kami sampaikan pada pengurus Bicons atas kepercayaan yang telah diberikan, terima kasih juga buat kawan-kawan Biconers atas do’a dan dukungannya. Sebenarnya bagi kami ada yang jauh lebih penting dari sekedar berlomba, yaitu bersilaturahmi dengan komunitas pengamat burung se-Indonesia sehingga kami bisa berbagi pengalaman dan informasi mengenai kegiatan yang dilakukan di daerahnya masing-masing. Semoga Allah SWT meridhoi kegiatan ini, amin.

<Deri Ramdhani>

Avifauna (Burung) di Padalarang dan sekitarnya (Fokus Lokasi : Gua Pawon – Gunung Masigit)

April 24, 2010

Avifauna (Burung) di Padalarang dan sekitarnya

(Fokus Lokasi : Gua Pawon – Gunung Masigit)


Oleh : Deri Ramdhani


Waktu itu di pagi hari kami berenam yang tergabung dalam komunitas pengamat burung BICONS (Birds Conservation Society) berencana melakukan perjalanan ke Gua Pawon untuk melakukan pengamatan di kawasan yang terkenal sebagai salah satu situs sejarah dimana ditemukannya fosil manusia purba yang menghuni Gua tersebut. Kawasan ini terletak di sebelah barat Kota Bandung, tepatnya berada di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat.

Perjalanan ke lokasi menyita waktu kurang lebih satu jam dengan mengunakan motor melewati Kota Cimahi dan Kota Padalarang menuju ke arah Cianjur. Semakin mendekati ke lokasi terlihat beberapa truk besar yang hilir mudik mengangkut batuan dari bukit-bukit yang tampak semakin terkikis. Truk-truk tersebut berumur puluhan tahun dan sering disebut dengan nama “bayawak” karena memang memiliki moncong yang khas.

Keluar dari jalan raya Padalarang kami mulai memasuki jalan menuju kawasan Gua Pawon. Jalan inilah yang digunakan sebagai jalur transportasi truk “bayawak” dari dan menuju lahan tambang galian C yang terdapat di bukit-bukit yang salah satunya bernama Gunung Masigit. Kawasan ini merupakan kawasan karst yang terbentuk dari cekungan danau Bandung purba selama jutaan tahun yang lampau. Tipe vegetasi di kawasan ini didominasi oleh vegetasi semak, karena lapisan tanah yang tipis yang hanya terdapat di permukaan saja, selebihnya berupa batuan kapur atau dikenal dengan karst.

Beberapa jenis tumbuhan dari kelompok semak yang jumlahnya melimpah adalah jenis Kipait (Tithonia diversifolia), Kirinyuh (Eupathorium odoratum), Babadotan (Ageratum conyzoides), Widelia (Wedelia triloba), Jarong (Stachytarpheta jamaicensis), kembang telang (Clitoria ternatea), dan beberapa jenis rumput (cyperaceae). Berlimpahnya rumput dan beberapa jenis semak di kawasan ini dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai pakan ternak. Selain itu beberapa jenis satwa liar juga tampak memanfaatkan semak-semak tersebut sebagai tempat bersarang, mencari makan, dan tempat berlindung. Mammalia kecil yang hidup di habitat tersebut seperti jenis tikus ladang (Rattus sp.), Musang (Paradoxiurus hermaproditus), dan Bajing (Tupaia sp.). Sedangkan untuk jenis burung semak yang tercatat adalah Bubut alang-alang (Centropus bengalensis), Cici padi (Cisticola juncidis), Bentet kelabu (Lanius schach), Cinenen jawa (Orthotomus sepium), Cinenen pisang (Orthotomus sutorius), Perenjak jawa (Prinia familiaris), Gemak loreng (Turnix suscitator), dan dua jenis burung pipit, yaitu Bondol jawa (Lonchura leucogatroides), dan Bondol peking (Lonchura punctulata).

Sedangkan di lahan yang sedikit landai masyarakat setempat menanaminya dengan tanaman kacang-kacangan dan umbi-umbian, yang diselingi beberapa tanaman kayu seperti Albasiah (Albizzia sp.), Pisang (Musa paradisiaca), Cebreng, dan bibit pohon Mahoni (Swietenia mahagoni). Pada habitat pepohonan ini beberapa jenis burung arboreal dapat ditemukan, seperti  Burung pelatuk dari jenis Caladi ulam (Dendrocopus macei) dan Caladi tilik (Picoides moluccensis), selain itu burung kosmopolit arboreal dari jenis Cabe jawa (Dicaeum trochileum), burung Madu sriganti (Nectarinia jugularis), dan Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus) menambah keanekaragaman burung di kawasan Gua Pawon ini.

Luasnya semak-semak yang terdapat di kawasan ini turut mengundang kelompok burung pemangsa (raptor), yaitu jenis Alap-alap sapi (Falco molucensis) yang dapat dengan leluasa berburu dari tenggerannya atau mengintai ketika sedang terbang melayang (soaring). Pada malam harinya giliran kelompok burung nokturnal yang melakukan perburuan, dua jenis diantaranya adalah Serak jawa (Tyto alba) yang gemar berburu mammalia kecil atau burung, dan Cabak kota (Caprimulgus affinis) yang berburu serangga malam. Cabak kota biasanya bersarang dan beristirahat pada siang hari di lantai tanah yang tertutupi oleh semak-semak. Sedangkan Serak jawa atau koreak bersarang dan beristirahat pada siang hari di atap bangunan atau di gua-gua.

Adalah Gua Pawon yang kini dijadikan situs bersejarah ditemukannya fosil manusia Bandung Purba. Di dalamnya terdapat stalaktit dan stalakmit yang terbentuk dari proses pengendapan mineral oleh tetesan air dalam jangka waktu yang lama. Lorong gua yang gelap dan lembab menjadikan habitat yang cukup nyaman bagi beberapa satwa liar seperti mammalia terbang dari kelompok kelelawar yang hidup bergantungan pada atap-atap gua. Terlihat juga beberapa sarang burung dari kelompok burung walet atau burung layang-layang, yaitu dari jenis Walet linci (Collocalia linchi), Kapinis rumah (Apus affinis), Layang-layang batu (Hirundo tahitica), dan Layang-layang loreng (Hirundo striolata), mereka menggantung dan bersarang pada dinding dan atap gua. Berdasarkan wawancara terhadap penduduk sekitar, beberapa tahun yang lalu masih dapat ditemukan jenis Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), namun sekarang ini tampaknya sudah menghilang keberadaannya.

Adanya eksploitasi yang berjalan sangat cepat terhadap habitat kawasan Gua Pawon turut mempercepat hilangnya keanekaragaman hayati khas kawasan karst atau tepatnya kawasan Gua Pawon. Gangguan habitat yang paling besar adanya penambangan batu yang dari tahun ke tahun areal tambangnya semakin meluas, sehingga mempersempit habitat satwa liar. Selain hilangnya habitat satwa liar, dampak dari kegiatan tambang Galian C tersebut adalah hilangnya sarana penelitian sejarah berupa situs geologi yang berumur jutaan tahun.

Hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena nilai keanekaragaman hayati dan geologi tidak kalah pentingnya dengan kegiatan penambangan yang mengatasnamakan pembangunan ekonomi. Dari segi keanekaragaman hayatinya yaitu spesifik pada keanekaragaman burungnya, kawasan Gua Pawon sejauh ini merupakan habitat bagi 27 jenis burung, dimana sebanyak 5 jenis diantaranya merupakan burung yang dilindungi oleh peraturan perundangan RI dan Internasional.

-Sekian-

Laporan Asian Waterbirds Census (AWC) di Bandung

April 24, 2010

Laporan Asian Waterbirds Census (AWC) di Bandung

Oleh : Deri Ramdhani

Pengamatan burung air di Bandung dilakukan di beberapa tempat oleh para pengamat burung yang tergabung dalam komunitas pengamat burung BICONS (Birds Conservation Society). Beberapa lokasi diantaranya merupakan kawasan lahan basah seperti sawah, sehingga banyak ditemukan burung air yang menjadikan kawasan tersebut sebagai habitatnya. Akan tetapi di beberapa lokasi tidak terdapat kawasan lahan basah namun masih dapat ditemukan kelompok burung air di lokasi tersebut, seperti halnya kawasan taman kota.

Luasan lahan basah di Bandung dari tahun ke tahun semakin menyempit, dikarenakan perluasan pemukiman yang tidak mengindahkan fungsi ekologis. Sehingga dampak yang dirasakan masyarakat Bandung pun sangat banyak, dari mulai bencana banjir di musim hujan, baik banjir yang berasal dari luapan sungai maupun banjir cileuncang, sampai minimnya jumlah air yang dapat dikonsumsi ketika datangnya musim kemarau. Hal tersebut adalah beberapa contoh dari bencana sebagai akibat dari terabaikannya fungsi ekologis lahan basah di Bandung.

Burung air sebagai indikator keberadaan lahan basah pun keberadaannya kini semakin terganggu dengan perluasan wilayah pemukiman ke areal persawahan. Sebagai contoh, kurang dari empat tahun yang lalu kami masih dapat melakukan pengamatan burung air di area lahan basah tepatnya di pinggiran rel kereta api yang melintasi jalan tol Cileunyi. Di area tersebut tumbuh beberapa jenis tumbuhan air seperti Kangkung Belanda (Ipomea sp.) yang dijadikan sebagai habitat bersarang berbagai jenis burung air yang menghuni areal persawahan di Cileunyi dan sekitarnya. Namun kini habitat tersebut sudah hilang dan beralih fungsi menjadi kawasan kompleks perumahan, sehingga berbagai jenis burung air tersebut harus mencari habitat bersarang yang baru.

Terdapat enam region yang telah dilakukan survey burung air di Bandung dan sekitarnya. Berikut akan diuraikan lokasi beserta jenis burung air yang ditemukan di enam region tersebut.

A. Kawasan Bojong Soang

Jenis burung air yang ditemukan di sekitar kawasan Instalasi Pengolahan Air Limbah PDAM dan areal pesawahan Bojong Soang Bandung

Kelompok No Nama Ilmiah Nama Indonesia Nama Inggris Famili Individu Ket.
Waterfowl 1 Tachybaptus ruficollis Titihan telaga Little Grebe Podicipedidae A A 1
Wading bird 2 Bubulcus ibis Kuntul kerbau Cattle egret Ardeidae B B 2 – 5
3 Ardeola speciosa Blekok sawah Javan pond-heron Ardeidae C C 6 – 10
4 Nycticorax nycticorax Kowak-malam kelabu Black-crowned Night-heron Ardeidae C
5 Ixobrychus cinnamomeus Bambangan merah Cinnamon bittern Ardeidae C
Shore bird 6 Tringa hypoleucos Trinil pantai Common sandpiper Scolopacidae C
Others 7 Amaurornis phoenicurus Kareo padi White-breasted Waterhen Rallidae B

Survey yang dilakukan di kawasan Bojong Soang merupakan survey keanekaragaman hayati, khususnya kelompok burung. Tipe habitat di lokasi pada umumnya merupakan areal persawahan, sehingga sebanyak 4 jenis burung dari kelompok wading bird ditemukan di habitat tersebut. Untuk kelompok shore bird ditemukan jenis Trinil pantai (Tringa hypoleucos) yang diprakirakan merupakan jenis migran, karena hanya dapat ditemukan pada bulan-bulan tertentu saja. Tercatat satu jenis burung air dari kelompok Waterfowl, yaitu Titihan telaga (Tachybaptus ruficollis) yang ditemukan hanya 1 ekor. Individu ini menggunakan kolam Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) PDAM sebagai habitatnya. Berdasarkan data inventarisasi burung di Bandung, burung ini merupakan catatan baru yang menambah jumlah jenis burung di Bandung. Dimana sebelumnya pernah tercatat satu jenis burung air dari kelompok sea bird/sea gull yaitu jenis Cikalang kecil (Fregata minor) tidak jauh dari lokasi ditemukannya burung tersebut.

Kawasan Bojong Soang merupakan kawasan yang memiliki jumlah jenis dan individu burung air terbanyak. Kawasan ini ditunjang oleh lahan basah yang cukup luas dan selalu tersedia pengairan terhadap areal sawahnya. Ketika di musim hujan kawasan ini sering mengalami banjir, tepatnya lokasi yang berbatasan dengan wilayah Dayeuh kolot dan Baleendah. Berdasarkan ketinggian di atas permukaan laut, kawasan ini merupakan kawasan yang paling rendah diantara kawasan Cekungan Bandung Purba, sehingga muara dari beberapa anak sungai Citarum mengalir menuju kawasan ini.

B. Kawasan Gede Bage

Jenis burung air yang ditemukan di sekitar kawasan Gede Bage

Kelompok No Nama Ilmiah Nama Indonesia Nama Inggris Famili Individu Ket.
Wading bird 1 Bubulcus ibis Kuntul kerbau Cattle egret Ardeidae C A 5 – 10
2 Ardeola speciosa Blekok sawah Javan pond-heron Ardeidae C B 11 – 20
3 Nycticorax nycticorax Kowak-malam kelabu Black-crowned Night-heron Ardeidae B C > 30
4 Ixobrychus cinnamomeus Bambangan merah Cinnamon bittern Ardeidae A
Shore bird 5 Tringa hypoleucos Trinil pantai Common sandpiper Scolopacidae A
Others 6 Amaurornis phoenicurus Kareo padi White-breasted Waterhen Rallidae A

Jenis burung air di Kawasan Gede Bage hampir sama dengan jenis burung yang ditemukan di Kawasan Bojong Soang, hanya saja di kawasan ini tidak tercatat jenis Waterfowl Titihan telaga (Tachybaptus ruficollis), dimana di kawasan Bojong Soang tercatat menggunakan kolam Instalasi Pengolahan Air Limbah milik PDAM. Selain itu di kawasan Gede Bage kami menemukan habitat bertengger (roosting site) yang bersatu dengan habitat bersarang (nesting site) dari dua jenis burung air, yaitu Blekok sawah (Ardeola speciosa) dan Kuntul kerbau (Bubulcus ibis). Habitat tersebut berupa rumpun bambu milik salah seorang tokoh masyarakat di Kampung Rancabayawak. Keberadaan burung tersebut dilindungi oleh pemilik lahan, karena pemilik lahan mengetahui fungsi dan manfaat keberadaan burung air tersebut bagi ekosistem lahan basah, sehingga masyarakat tidak ada yang berani mengganggu tempat tenggeran dan bersarang burung air ini walaupun sering tercium bau anyir dari kotoran burung karena lokasinya yang berdekatan dengan pemukiman penduduk.

C. Kawasan Taman Kota

Jenis burung air yang ditemukan di kawasan taman kota Bandung hanya ada satu jenis saja, yaitu Kowak-malam kelabu (Nycticorax nycticorax). Keberadaan burung ini di Taman Ganesha menjadi fenomenal, karena menjadi penyebab dari banyaknya kotoran yang mengotori sepanjang Jalan Ganesha di depan Kampus ITB. Burung yang konon berasal dari Kebun Binatang Bandung ini jumlah populasinya terus meningkat, puncaknya yaitu pada tahun 2007 yang mencapai lebih dari 2000 individu. Berbagai macam perlakuan terhadap keberadaan burung ini pernah dilakukan, dari mulai pemindahan induk burung, gangguan berupa suara kaleng yang digantung di dekat sarang, sampai pada insiden penembakan yang mengatasnamakan pengelola kampus. Setelah melalui berbagai media akhirnya keberadaan burung ini dapat diterima oleh pihak-pihak yang merasa terganggu dengan kehadiran burung ini.

Burung Kowak yang berada di Ganesha tersebut menghabiskan waktu istirahatnya yaitu siang hari di pohon Angsana yang berjajar sepanjang Jalan Ganesha. Ketika waktu senja tiba mereka terbang menuju area berburu, yaitu di areal yang masih terdapat sawah, kolam, dan lahan basah di sekitar Bandung. Dan ketika fajar menjelang mereka kembali ke tempat istirahatnya yaitu di jalan Ganesha ini. Jarak yang cukup jauh antara tempat berburu dan tempat istirahat bagi Kowak tidak menyebabkan mereka mencari tempat istirahat yang lebih dekat dibanding dengan jalan Ganesha. Hal tersebut dimungkinkan karena terdapatnya pepohonan tinggi  dengan kanopi luas di lokasi tersebut, sehingga menjadikan kawasan Ganesha cukup aman dan nyaman bagi keberlangsungan hidup burung ini.

D. Kawasan Jatinangor

Jenis burung air yang ditemukan di sekitar kawasan Jatinangor

Kelompok No Nama Ilmiah Nama Indonesia Nama Inggris Famili Individu Ket.
Wading bird 1 Bubulcus ibis Kuntul kerbau Cattle egret Ardeidae C A 1 – 4
2 Ardeola speciosa Blekok sawah Javan pond-heron Ardeidae C B 5 – 10
3 Nycticorax nycticorax Kowak-malam kelabu Black-crowned Night-heron Ardeidae B C > 10
4 Ixobrychus cinnamomeus Bambangan merah Cinnamon bittern Ardeidae A
Others 5 Amaurornis phoenicurus Kareo padi White-breasted Waterhen Rallidae A

Burung air yang tercatat di kawasan ini jumlah jenisnya lebih sedikit dibandingkan di tempat lainnya, hal ini dikarenakan tata guna lahan pertanian di kawasan ini didominasi oleh pertanian kering, seperti kebun dan ladang. Lokasi yang menjadi objek penelitian terdapat di kawasan kampus Jatinangor,  areal persawahan Jatinangor sampai ke kecamatan Cimanggung Kabupaten Sumedang.

E. Kawasan Banjaran

Jenis burung air yang ditemukan di sekitar kawasan Banjaran hampir sama dengan yang ditemukan di kawasan Gedebage. Hal ini dikarenakan jenis lahan basah yang terdapat di dua lokasi tersebut memiliki kemiripan, yaitu areal persawahan dengan sistem pertanian irigasi.

F. Kawasan Ciwidey

Jenis burung air yang ditemukan di sekitar kawasan Ciwidey

Kelompok No Nama Ilmiah Nama Indonesia Nama Inggris Famili Individu Ket.
Wading bird 1 Ixobrychus cinnamomeus Bambangan merah Cinnamon bittern Ardeidae B A 1 – 2
Shore bird 2 Tringa hypoleucos Trinil pantai Common sandpiper Scolopacidae C B 3 – 5
3 Scolopax saturata Berkik-gunung merah Rufous Woodcock Scolopacidae A C > 5
Others 4 Amaurornis phoenicurus Kareo padi White-breasted Waterhen Rallidae A

Lokasi pengamatan dilakukan di kawasan lahan basah di Ciwidey yang merupakan kawasan lahan basah dataran tinggi. Tercatat satu jenis burung air dari kelompok Shore bird yang hanya dapat ditemukan di lahan basah pegunungan saja, yaitu Berkik-gunung Merah (Scolopax saturata). Jenis ini terdapat di kawasan lahan basah Rancaupas Ciwidey yang merupakan rawa yang berasal dari air pegunungan di sekitarnya. Ketika memasuki bulan September, dapat ditemukan beberapa ekor Trinil pantai (Tringa hypoleucos) yang memanfaatkan kawasan rawa Ranca Upas.

LAMPIRAN


Jumlah Jenis Burung di Seluruh Kawasan di Bandung dan Sekitarnya

No Nama Jenis Nama Lokal Distribusi Status Perlindungan
1 Abroscopus superciliaris Cikrak bambu
2 Accipiter gularis Elang-alap Nipon M B, D, II
3 Accipiter soloensis Elang-alap cina M B, D, II
4 Acridotheres javanicus Kerak kerbau E
5 Acridotheres tristis Kerak ungu
6 Acrocephalus orientalis Kerakbasi besar M
7 Aegithina tiphia Cipoh kacat
8 Aethopyga eximia Burung-madu gunung E A, D, E
9 Aethopyga mystacalis Burung-madu jawa E A, E
10 Alcedo coerulescens Raja-udang Biru E A, D
11 Alcedo meninting Raja-udang Meninting A, D
12 Alcippe pyrrhoptera Wergan jawa E D, E
13 Alophoixus bres Empuloh janggut
14 Amandava amandava Pipit benggala
15 Amaurornis phoenicurus Kareo padi
16 Anthreptes malacensis Burung-madu kelapa A, D
17 Apus affinis Kapinis rumah
18 Arachnothera longirostra Pijantung kecil A, E
19 Arborophila javanica Puyuh-gonggong jawa E
20 Ardeola speciosa Blekok sawah D
21 Artamus leucorhynchus Kekep babi
22 Brachypteryx leucophrys Cingcoang coklat
23 Brachypteryx montana Cingcoang biru
24 Bubulcus ibis Kuntul kerbau D
25 Cacomantis merulinus Wiwik kelabu
26 Caprimulgus affinis Cabak kota N
27 Centropus bengalensis Bubut alang-alang
28 Cettia vulcania Ceret gunung
29 Chloropsis cochinchinensis Cica-daun Sayap-biru
30 Cinclidium diana Berkecet biru-tua E
31 Cisticola juncidis Cici padi
32 Clamator coromandus Bubut pacar jambul M
33 Collocalia linchi Walet linci
34 Columba livia Merpati
35 Copsychus saularis Kucica kampung
36 Coracina larvata Kepudang-sungu gunung E
37 Coturnix chinensis Puyuh batu N
38 Crocias albonotatus Cica matahari E D, E, NT
39 Cuculus saturatus Kangkok ranting
40 Cuculus sepulcralis Wiwik uncuing
41 Culicicapa ceylonensis Sikatan kepala-abu
42 Dendrocopus macei Caladi ulam
43 Dendronanthus indicus Kicuit hutan M
44 Dicaeum sanguinolentum Cabai gunung E
45 Dicaeum trochileum Cabe jawa E
46 Dicrurus leucophaeus Srigunting kelabu
47 Dicrurus remifer Srigunting bukit
48 Ducula lacernulata Pergam punggung-hitam E
49 Enicurus leschenaulti Meninting besar
50 Enicurus velatus Meniniting kecil E
51 Erythrura hyperythra Bondol-hijau dada-merah
52 Eumyias indigo Sikatan ninon E
53 Eurystomus orientalis Tiong batu M
54 Falco moluccensis Alap-alap sapi E B, D, II
55 Falco peregrinus Alap-Alap kawah M B, D, II
56 Ficedula dumetoria Sikatan dada-merah NT
57 Ficedula hyperythra Sikatan bodoh
58 Ficedula mugimaki Sikatan mugimaki M
59 Ficedula westermanni Sikatan belang
60 Fregata minor Cikalang kecil M D
61 Gallus varius Ayam-hutan hijau E
62 Geopelia striata Perkutut
63 Gerygone sulphurea Rametuk laut
64 Halcyon cyanoventris Cekakak jawa E A, E
65 Harpactes reinwardtii Luntur harimau E A, EN
66 Hemipus hirundinaceus Jingjing batu
67 Hirundo rustica Layang-layang asia M
68 Hirundo striolata Layang-layang loreng
69 Hirundo tahitica Layang-layang batu
70 Ictinaetus malayensis Elang hitam B, E, II
71 Ixobrychus cinnamomeus Kokokan merah
72 Lanius cristatus Bentet coklat M
73 Lanius schach Bentet kelabu
74 Lanius tigrinus Bentet loreng M
75 Lonchura leucogastroides Bondol jawa E
76 Lonchura maja Bondol haji
77 Lonchura punctulata Bondol peking
78 Lophozosterops javanicus Opior jawa E D
79 Loriculus galgulus Serindit melayu II
80 Loriculus pusilus Serindit jawa E II, NT
81 Macronous flavicollis Ciung-air jawa E
82 Macropygia ruficeps Uncal kouran
83 Malacocincla sepiarium Pelanduk semak
84 Megalaima armillaris Takur tohtor E D, E
85 Megalaima haemacaphala Ungkut-ungkut
86 Megalurus palustris Cica-koreng jawa
87 Mirafra javanica Branjangan jawa
88 Motacilla cinerea Kicuit batu M
89 Muscicapa dauurica latirostris Sikatan bubik M
90 Napothera epilepidota Berencet berkening
91 Nectarinia jugularis Burung-madu sriganti A, E
92 Nycticorax nycticorax Kowak-malam kelabu N
93 Oriolus chinensis Kepudang kuduk-hitam
94 Orthotomus cuculatus Cinenen gunung
95 Orthotomus sepium Cinenen jawa E
96 Orthotomus sutorius Cinenen pisang
97 Otus lempiji Celepuk reban N
98 Padda oryzipora Gelatik jawa E VU, II
99 Parus major Gelatik-batu kelabu
100 Passer montanus Burung gereja erasia
101 Pellorneum pyrrogenys Pelanduk bukit
102 Pericrocotus miniatus Sepah gunung E
103 Pernis ptilorhynchus Sikep-madu Asia M B, D, II
104 Pernis ptylorynchus Sikep madu asia M B, E, II
105 Phaenicophaeus curvirostris Kadalan birah
106 Phylloscopus borealis Cikrak kutub M
107 Phylloscopus coronatus Cikrak  mahkota M
108 Phylloscopus trivirgatus Cikrak daun
109 Piccoides moluccensis Caladi tilik
110 Picus miniaceus Pelatuk merah
111 Pnoepyga pusilla Berencet kerdil
112 Pomatorhinus montanus Cica-kopi Melayu
113 Prinia familiaris Perenjak jawa E
114 Prinia inornata Perenjak padi
115 Prinia polychroa Perenjak coklat
116 Psaltria exilis Cerecet jawa E D
117 Psittaculla alexandri Betet biasa II
118 Pteruthius aenobarbus Ciu kunyit
119 Pteruthius flaviscapis Ciu besar
120 Ptilinopus porphyreus Walik Kepala-ungu E
121 Pycnonotus aurigaster Kutilang
122 Pycnonotus bimaculatus Cucak gunung E
123 Pycnonotus goiavier Merbah Cerukcuk
124 Pycnonotus melanicterus Cucak kuning
125 Reindwardtipicus validus Pelatuk kundang
126 Rhinomyias olivacea Sikatan-rimba dada-coklat
127 Rhipidura phoenicura Kipasan ekor merah E D, E
128 Scolopax saturata Berkik-gunung merah
129 Seicercus grammiceps Cikrak muda E
130 Sitta azurea Munguk loreng
131 Spilornis cheela Elang ular bido B, E, II
132 Spizaetus bartelsi Elang jawa E B, E, EN, II
133 Spizaetus cirrhatus Elang brontok B, E, II
134 Stachyris melanothorax Tepus pipi perak E D, E
135 Stachyris thoracica Tepus leher-putih E D
136 Streptopelia chinensis Tekukur biasa
137 Sturnus melanopterus Jalak putih E C, D, EN
138 Sturnus sturninus Jalak cina M
139 Tachybaptus ruficollis Titihan telaga
140 Tesia superciliaris Tesia jawa E
141 Todirhamphus chloris Cekakak sungai A, D
142 Treron griseicauda Punai penganten E
143 Treron oxyura Punai salung
144 Tringa hypoleucos Trinil pantai M
145 Turnix suscitator Gemak loreng
146 Tyto alba Serak jawa N II
147 Zoothera dauma Anis Sisik
148 Zoothera sibirica Anis Siberia M
149 Zosterops montanus Kacamata gunung
150 Zosterops palpebrosus Kacamata biasa

Keterangan:

Peraturan Pemerintah RI
Peraturan Perlindungan Binatang Liar 1931 A
SK. Mentan No.421/kpts/um/8/1970 B
SK. Mentan No.66/kpts/um/2/1973 C
SK. Mentan No.757/kpts/um/12/1979 D
Peraturan Pemerintah No 7 th 1999 E
Apendiks CITES II II
IUCN
Endangered (terancam) EN
Near Threatened (hampir punah) NT
Vulnerable (rentan) VU
Distribusi
Migran M
Endemik Jawa/Indonesia E
Nokturnal N

Burung-burung Kota Bandung (Ekspedisi Kutilang)

April 26, 2009

Executive Summary


Berdasarkan survey yang telah dilakukan BICONS dan data Ramdhani 2006, telah tercatat 86 jenis
burung yang menghuni Kota Bandung. Survey dilakukan di beberapa lokasi yang memiliki kelimpahan
burung yang tinggi, dan dilakukan di tiga tipe habitat burung antara lain: Taman kota, Lahan basah,
dan Ladang/kebun.
Hasilnya adalah:

  1. Terdapat 13 jenis burung endemik (15,12 %) yang hanya dapat ditemukan di Pulau Jawa atau di Indonesia saja,
  2. Tercatat 15 jenis burung migran (17,44 %) yang melakukan perpindahan dari Wilayah Utara bumi pada musim dingin ke wilayah selatan bumi, dan kembali lagi ke utara pada musim panas.
  3. Terdapat 24 jenis burung (27,91 %) yang memiliki status dilindungi berdasarkan peraturan pemerintah Republik Indonesia, Apendiks CITES (Convention on Trade in Endangered Species of wild fauna and flora), dan IUCN (International Union for Conservation of Nature)

Dari 86 jenis burung yang tercatat, sebagian besar ditemukan di tipe habitat taman kota, yaitu 57
jenis burung (66,28 %) seperti di taman lingkungan, jalur hijau jalan, dan tempat pemakamam umum.
Hal ini menandakan jenis burung yang ditemukan di Bandung sangat tergantung dengan pepohonan
(arboreal) baik sebagai tempat untuk berkembangbiak, berlindung, dan mencari makan.
Lahan basah di Bandung menyediakan habitat bagi 41 jenis burung (47,67 %), lahan basah tersebut
berupa sawah, kolam atau sungai. Sedikitnya ditemukan 8 jenis (9,30 %) burung yang dikategorikan
sebagai burung air (kelompok burung yang mencari makannya tergantung pada keberadaan air).
Keberadaan lahan basah di Kota Bandung semakin terancam oleh pembangunan, dimana sebagian
besar terdapat di wilayah Bandung Timur dan Selatan yang memiliki tingkat perubahan fungsi lahan
yang tinggi.
Tipe habitat ladang/kebun yang terdapat di Bandung Utara dan Timur merupakan habitat yang baik
bagi beberapa jenis burung tertentu, seperti kelompok burung semak. Pada habitat tersebut tercatat
38 jenis burung (44,19 %) yang menghuni ladang dan kebun.
Kota Bandung menyediakan sumber makanan yang melimpah bagi burung. Sebagian besar (61 jenis
burung atau 70,93 %) sumber makanannya berupa serangga (insektivor). Dengan demikian burung
merupakan predator yang efektif yang berfungsi sebagai pengendali hama serangga, baik serangga
pada pohon, tanah, maupun serangga yang terbang di udara. Kelompok burung lainnya yang dapat
ditemukan di Kota Bandung adalah kelompok pemakan buah (frugivor 20,93 %), dan kelompok
burung pemakan biji (granivor 20,93 %). Kedua kelompok tersebut berfungsi secara alami sebagai
penyebar bibit tumbuhan yang berasal dari biji pohon tersebut. Kelompok burung yang lain berfungsi
membantu di dalam penyerbukan bunga, yaitu burung penghisap madu (nektarivor 3,49 %).
Kelompok burung air yang dapat ditemukan di kawasan lahan basah di Bandung menggantungkan
sumber makanannya pada ikan dan biota air lainnya (piscivor 13,95 %). Selain itu juga Kota Bandung
dihuni oleh kelompok burung pemangsa yang berfungsi sebagai top predator (karnivor 12,79 %).
Beberapa jenis burung pemangsa tersebut ditemukan hanya pada waktu tertentu saja yaitu pada
musim migrasi yang terjadi sekitar bulan September atau Oktober.

Keterangan status IUCN:
1. Extinct (Punah):
Species (dan taksa lain, seperti subspesies dan varietas) yang tidak ditemukan lagi di alam
2. Endangered (Genting):
Spesies yang mempunyai kemungkinan tinggi untuk punah dalam waktu dekat
3. Vulnerable (Rentan):
Spesies yang genting dalam waktu dekat, karena populasinya menurun dan sebenarnya
menyusut
4. Rare (Langka):
Spesies yang mempunyai jumlah individu sedikit, seringkali disebabkan oleh sebaran geografis
yang terbatas atau kepadatan populasi yang rendah

Cucak-cucakan/The Bulbuls Family (Pycnonotidae)


Karakteristik : memiliki leher dan sayap pendek, ekor agak panjang dan paruh ramping.
Mempunyai bulu yang halus dan lembut, beberapa jenis berjambul tegak. Bulu burung jantan dan
betina mirip, kebanyakan mempunyai warna bulu yang buram dengan pola warna kuning, jingga,
hitam dan putih.
Burung cucak-cucakan terutama merupakan burung pemakan buah-buahan, walaupun mereka
juga memakan serangga. Merupakan burung yang penuh percaya diri, dengan kicauan yang ramai,
dan sangat musikal pada beberapa jenis. Cenderung hidup di pohon dan membuat sarang berbentuk
mangkuk yang tidak rapi. Tidak satu pun merupakan burung migran.
Di Sunda Besar terdapat 29 burung cucak, merbah, dan brinji.
Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster)
Memiliki ukuran ± 20 cm, dengan kepala bertopi hitam. Pada bagian tunggir keputih-putihan
dan bagian tungging berwarna jingga kuning. Bagian dagu dan kepala atas hitam. Kerah, tunggir, dada,
dan perut putih. Sayap berwarna hitam dengan ekor berwarna coklat. Bagian iris mata berwarna
merah, sedangkan paruh dan kaki berwarna hitam. Suaranya merdu dan nyaring “cuk-cuk”, dan
“cang-kur” yang diulang cepat.
Penyebaran burung ini secara global mulai dari Cina selatan, Asia tenggara (kecuali
Semenanjung Malaysia) dan Jawa. Diintroduksi ke Sumatera dan Sulawesi selatan, juga baru-baru ini
mencapai Kalimantan selatan. Sedangkan penyebaran lokalnya sampai Sumatera, Jawa dan Bali. Di
Jawa dan Bali, merupakan salah satu jenis yang tersebar paling luas dan umum, sampai ketinggian
sekitar 1.600 mdpl.
Burung ini memiliki kebiasaan hidup dalam kelompok yang aktif dan ribut, sering berbaur
dengan jenis cucak lain. Lebih menyukai pepohonan terbuka atau habitat bersemak, di pinggir hutan,
tumbuhan sekunder, taman, dan pekarangan, atau bahkan kota besar seperti halnya di Kota Bandung.

Di Kota Bandung burung ini hidup di taman-taman kota dan pekarangan yang ditumbuhi oleh
pepohonan berbiji yang menjadi sumber makanannya.
Status perlindungan jenis burung ini tidak termasuk ke dalam burung yang dilindungi. Akan
tetapi burung ini dijadikan sebagai simbol fauna Kota Bandung yang disandingkan dengan
Patrakomala (Caessalpinia pulcherima) sebagai simbol floranya
Populasi dan Distribusi Kutilang (Pycnonotus aurigaster)
Dari sekitar 36 lokasi yang disurvey, tidak seluruhnya ruang terbuka hijau yang di dalamnya terdapat
burung kutilang. Hanya sekitar 27 lokasi yang tercatat adanya kutilang, dimana lokasi yang paling
besar jumlah populasinya adalah di Taman Merdeka, yaitu sekitar 26 individu atau sekitar 9,85%.

Populasi dan Distribusi Kutilang di Bandung

No. Nama Lokasi Jumlah individu % No. Nama Lokasi Jumlah individu

%

1 Taman Merdeka 26 9.85 15 Jl. Dago 8 3.03
2 Jl. Diponegoro 19 7.20 16 TPU Pandu 7 2.65
3 Taman Maluku 16 6.06 17 Jl. Riau 6 2.27
4 Taman UPI 16 6.06 18 TPU Sirnaraga 6 2.27
5 Taman Tegalega 15 5.68 19 TPU Babakan Ciparay 5 1.89
6 Tahura Djuanda 15 5.68 20 Taman GOR Pajajaran 5 1.89
7 Taman Pramuka 14 5.30 21 Punclut 5 1.89
8 Taman Lalulintas 14 5.30 22 Taman Kangkung 4 1.52
9 Babakan Siliwangi 13 4.92 23 Jl. Pajagalan 4 1.52
10 Taman Pendopo 12 4.55 24 TPU Ranca Cili 3 1.14
11 Jl. Supratman 12 4.55 25 TPU Astana Anyar 3 1.14
12 Taman Cilaki 10 3.79 26 TPU Cikutra 3 1.14
13 Taman Ganesha 10 3.79 27 Patal Cipadung 3 1.14
14 JL Cipaganti 10 3.79 264 100.00


Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa Universitas Padjadjaran

April 26, 2009

Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa Universitas Padjadjaran

KKN yang saya rasakan sangat jauh berbeda dengan yang saya perkirakan sebelumnya. Awalnya saya mengira akan dapat merasakan hal yang sama dengan apa yang diceritakan oleh teman-teman yang mengikuti KKN di luar daerah. Tetapi hal tersebut jauh dari bayangan sebelumnya. Walaupun demikian KKN ini merupakan hal baru bagi saya, dan segala permasalahan di dalamnya menambah pengalaman dan wawasan pribadi.

Jauh hari sebelum KKN dimulai, saya sudah mempersiapkan program-program yang dapat berguna bagi diri pribadi, khususnya pengaplikasian disiplin ilmu yang saya dapatkan di perkuliahan selama ± 3 tahun. Karena saya yakin ilmu yang saya dapatkan akan jauh lebih baik jika diamalkan dan diaplikasikan, apalagi untuk masyarakat umum. Persepsi KKN bagi saya pribadi adalah suatu momentum dimana kita sebagai mahasiswa penyambung lidah rakyat dapat sepenuhnya mengabdi pada masyarakat secara optimal menurut kemampuan kita. Saya yang dibesarkan di masyarakat, yang selama ± 2 tahun aktif di salah satu LSM pelestari lingkungan, dan bergelut di bidang ilmu Biologi yang erat kaitannya dengan ekologi lingkungan dan kemasyarakatan merasa tertantang dengan adanya KKN ini. Di sinilah saya akan berkreasi, di sinilah saya akan berkarya, dan di sini pula saya akan bekerjasama dengan rekan-rekan seperjuangan yang notabene-nya berasal dari berbagai disiplin ilmu dari jurusan dan fakultas se-Unpad.

Program kerja yang saya buat untuk KKN setelah dikonsultasikan dengan teman-teman di LSM yaitu mengambil tema: peningkatan kesadaran masyarakat terhadap fungsi flora dan fauna sebagai komponen lingkungan hidup agar tercapainya pembangunan yang berkelanjutan. Adapun perumusan masalahnya dilatarbelakangi oleh semakin maraknya permasalahan di masyarakat mengenai: 1). Pengkoleksian binatang liar di rumah; 2). Kurangnya kesadaran terhadap alam (flora & fauna) beserta lingkungan; 3) Terjadinya berbagai dampak negatif dari poin 1 & 2, seperti halnya: rusaknya alam beserta isinya, dsb. Oleh karena itu diperlukannya suatu pemilihan alternatif pemecahan masalah seperti program penyadartahuan terhadap masyarakat secara lisan maupun tulisan melalui berbagai media yang ada. Adapun metode yang rencananya akan saya pakai adalah metode PRA (Participatory Rural Appraisal).

Akan tetapi rencana besar saya layu sebelum berkembang, dikarenakan banyak faktor, seperti teman-teman di kelompok yang hanya menginginkan program kerja yang tidak terlalu rumit dan mudah untuk dilaksanakan. Memang didalam hati saya merasa kecewa, tetapi saya juga tidak dapat memaksakan program saya yang satu ini, karena ternyata untuk mewujudkan semuanya kita harus memiliki kesamaan visi dan misi.

Kendati demikian, usulan program saya yang lain dapat diterima oleh kelompok, walaupun program tersebut agak sederhana dan sama dengan programnya kelurahan dan kecamatan, program tersebut adalah penghijauan.

Adapun pelaksanaan program penghijauan mengalami berbagai masalah. Pada awalnya kami mempersiapkan bibit-bibit tanaman yang berasal dari pencangkokan tanaman yang berada di depan kelurahan tepatnya di depan sekretariat Karang Taruna, anggota yang terlibat antara lain: saya sendiri, Yuli K, Reni & Rina, Widiayu, Andieva, Dody, Ika, Sendy, Ella, dan Firman. Pencangkokan yang kami lakukan ternyata tidak sesuai dengan yang kami harapkan, hasilnya tidak dapat menghasilkan bibit tanaman yang baru. Setelah beberapa minggu kemudian kami ditawari oleh pihak Kecamatan Regol untuk membuat proposal pengajuan penghijauan di wilayah Cigereleng. Pihak kecamatan menjamin akan menyediakan bibit-bibit tanaman yang kemudian akan kita tanam di tiap-tiap RW. Akhirnya proposal pun kami buat dan kami usulkan, akan tetapi pihak kecamatan berkelit, katanya “bibit-bibit yang ada bagusnya berasal dari masyarakat, agar masyarakat memiliki sense of belonging yang tinggi terhadap tanaman tersebut, dan kami hanya akan menyediakan bibit apabila terdapat sisa-sisa lubang yang belum ditanami oleh masyarakat”. Begitulah yang dikatakan beliau, walaupun ada perasaan kecewa saya tidak menyerah untuk menyediakan bibit tanaman secara swadaya. Pengusulan proposal ke masyarakat sangatlah berat, karena biasanya masyarakat sulit untuk diminta sumbangsih berupa dana/barang.

Akhirnya waktunya tiba, sepulang kuliah saya langsung pergi ke Arboretum Jurusan Biologi tempat ditanamnya berbagai macam tanaman untuk keperluan laboratorium alam, di sana saya mengambil beberapa bibit pohon johar (Cassia siamea) yang tumbuh liar, setelah itu saya membawanya ke kelurahan untuk kami tanam di depan Lapangan Voli dan di pekarangan kelurahan. Setelah sampai di sana teman-teman langsung menyambut dan mulai membantu menanam bibit tersebut. Mereka yang turut serta antara lain Kemas, Mevi, Andieva, Yovita, Dody, Sendy, dan Bapak Dadang Sopiyana selaku Kepala Seksi Pemerintahan Kelurahan Cigereleng.

Sebagai tanaman pelengkapnya, saya, Kemas, dan Andieva membeli tanaman hias yang lokasinya berada di Tegal Lega. Kami membeli tanaman hias sebanyak 11 buah karena dana yang ada sangat terbatas. Tanaman hias itu sekarang berada di ruangan sekretariat KKN Cigereleng yang rencananya akan diserahkan kepada pihak kelurahan.

Program-program kegiatan yang lain seperti pendataan PKL dan Penyuluhan Narkoba telah berhasil kita lakukan. Penanggung jawab program ini adalah Popon. Pada program pendataan PKL saya yang langsung terjun ke jalan ditemani oleh Dody dan motornya berhasil mendata ± 12 orang PKL, dan jumlah tersebut mencapai rekor jika dibandingkan dengan pendataan yang dilakukan rekan-rekan yang lain. Selain hasil yang dapat kita dapatkan berupa data-data biografi mengenai para PKL saya juga dapat melatih diri dan meningkatkan kemampuan saya di bidang wawancara, dan yang tak kalah pentingnya kita dapat mengenal lebih jauh tentang kehidupan saudara-saudara kita yang tengah berjuang dalam kehidupan yang begitu kompleks ini. Banyak hikmah yang dapat kita ambil dari pendataan PKL tersebut, contohnya adalah saya menjadi kenal dan akrab dengan para PKL yang mangkal di depan jalan BKR tepatnya di depan TK Dian Kencana, dan ternyata ada seorang PKL yang pernah mengenyam bangku kuliahan seperti kita, dan usaha dagangnya itu kini ditekuninya karena sulitnya untuk mencari pekerjaan. Hal seperti itulah yang pernah membuat saya patah arang, apakah saya akan seperti itu juga??. Tapi hal tersebut juga yang selalu menjadi cambuk agar saya tidak menyia-nyiakan kuliah dan berusaha menjadi lulusan yang siap mental dan memiliki wawasan dan pengalaman yang luas.

Program kami yang menurut saya sukses adalah program penyuluhan narkoba yang diselenggarakan di SMUN 11 Bandung, SMA tersebut adalah almamater saya, oleh karena itu suatu kebanggaan tersendiri ketika kami mengadakan program tersebut di sana. Karena selain dapat bersilaturahmi dengan guru-guru SMA, saya juga dapat mengetahui kemajuan almamater saya sendiri yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Teman-teman yang ikut terlibat dalam kegiatan ini adalah, saya sendiri, Andieva sebagai penanggungjawab program, Yuli, Kemas, Reni&Rina, Mevi, Rudi, Harpend, Dody, Ika, Nina, Reny, Sendy, dan Ella.

Kegiatan ini cukup berjalan lancar walaupun ada beberapa masalah yang akhirnya dapat diselesaikan, seperti pengiriman surat yang seharusnya ditujukan untuk Bapak Kapolsek Regol ternyata undangan tersebut ditujukan bagi ketua Granat, dan akhirnya saya yang kena diberi pengarahan Pak Polisi, dan memang hal tersebut kesalahan dari pengetikan. Kemudian ketika berjalannya acara spanduk yang terselip lambang sponsor MacDonald mengalami hambatan untuk dipasang, karena tempat untuk penyuluhan berada di Masjid yang biasanya menolak produk-produk seperti MacDonald. Tapi akhirnya karena melihat kemaslahatan, spanduk tersebut dapat dipasang.

Dan masih banyak cerita-cerita lain mengenai KKNM di Kelurahan Cigereleng, dan apabila diceritakan semuanya saya yakin akan menghabiskan ratusan lembar. Dan saya percaya walaupun Bu Dian sangat jarang mengontrol kami karena kesibukannya, tapi nun jauh di sana Beliau selalu mengiringi kami dengan doa sehingga program demi program dapat kita jalankan sesuai dengan harapan kita.

Burung-burung di Kawasan PATUHA Ciwidey (Kawah Putih dan Ranca Upas)

Januari 21, 2009

Burung-burung di Kawasan PATUHA Ciwidey (Kawah Putih dan Ranca Upas)

Oleh: Deri Ramdhani


Kawasan Pegunungan di Ciwidey yang terletak di sebelah selatan kota Bandung memiliki kelimpahan burung yang cukup beranekaragam. Keberadaan burung tersebut tidak terlepas dari kondisi habitat kawasan tersebut yang masih terjaga. Beberapa titik di kawasan Ciwidey merupakan ekosistem hutan alami, dan sebagian lagi sudah menjadi perkebunan dan pemukiman. Dua diantaranya yang masih memiliki ekosistem hutan adalah kawasan Kawah Putih dan Ranca Upas. Kedua kawasan tersebut merupakan kawasan wisata yang kini dikelola oleh Perhutani.

Kawah Putih dan Ranca Upas merupakan habitat bagi 103 jenis burung, baik jenis yang penetap ataupun jenis burung pengunjung dari Bumi Utara. Sedikitnya tercatat 10 jenis burung pengunjung (migran) yang terdapat di kawasan ini. Burung migran tersebut dapat teramati pada bulan-bulan tertentu yaitu dari bulan Oktober sampai bulan Maret. Salah satunya adalah burung Bubut-pacar jambul (Clamator coromandus) yang berukuran cukup besar dari kelompok Cuculidae. Selain itu terdapat burung kecil jenis Sikatan mugimaki (Ficedula mugimaki) yang berkunjung di kawasan ini.
Selain jenis migran, terdapat juga jenis burung endemik atau burung yang hanya terdapat di Pulau Jawa atau di Indonesia saja. Tak kurang dari 32 jenis burung yang endemik tercatat di kawasan ini. Dari 103 jenis burung yang ditemukan, 21 jenis termasuk burung-burung yang dilindungi, baik oleh Peraturan Pemerintah RI, Konvensi Perdagangan Internasional (Apendiks CITES), maupun Peraturan Konservasi Internasional (IUCN). Empat jenis burung yang ditemukan di kawasan ini masuk ke dalam kategori IUCN, antara lain: burung Cica matahari (Crocias albonotatus) dan Sikatan dada-merah (Ficedula dumetoria) yang memiliki status Near Threatened (hampir punah). Sedangkan dua jenis berikutnya memiliki status Endangered (terancam), yaitu: Luntur harimau (Harpectes reindwartii), dan Elang jawa (Spizaetus bartelsi) yang diidentikkan sebagai lambang Negara Indonesia.

No Nama Jenis Nama Lokal Distribusi Status Perlindungan
1 Acrocephalus orientalis Kerakbasi besar M
2 Aethopyga eximia Burung-madu gunung E A, D, E
3 Aethopyga mystacalis Burung-madu jawa E A, E
4 Alcippe pyrrhoptera Wergan jawa E D, E
5 Alophoixus bres Empuloh janggut
6 Amandava amandava Pipit benggala
7 Amaurornis phoenicurus Kareo padi
8 Arachnothera longirostra Pijantung kecil A, E
9 Arborophila javanica Puyuh-gonggong jawa E
10 Artamus leucorhynchus Kekep Babi
11 Brachypteryx leucophrys Cingcoang coklat
12 Brachypteryx montana Cingcoang biru
13 Centropus bengalensis Bubut alang-alang
14 Cettia vulcania Ceret gunung
15 Chloropsis cochinchinensis Cica-daun Sayap-biru
16 Cinclidium diana Berkecet biru-tua E
17 Clamator coromandus Bubut pacar jambul M
18 Collocalia linchi Walet linci
19 Coracina larvata Kepudang-sungu gunung E
20 Crocias albonotatus Cica matahari E D, E, NT
21 Cuculus saturatus Kangkok ranting
22 Cuculus sepulcralis Wiwik uncuing
23 Culicicapa ceylonensis Sikatan kepala-abu
24 Dendrocopus macei Caladi ulam
25 Dicaeum trochileum Cabai jawa E
26 Dicaeum sanguinolentum Cabai gunung E
27 Dicrurus leucophaeus Srigunting kelabu
28 Dicrurus remifer Srigunting bukit
29 Ducula lacernulata Pergam punggung-hitam E
30 Enicurus leschenaulti Meninting besar
31 Enicurus velatus Meniniting kecil E
32 Erythrura hyperythra Bondol-hijau dada-merah
33 Eumyias indigo Sikatan ninon E
34 Falco moluccensis Alap-alap sapi E B, E, II
35 Ficedula dumetoria Sikatan dada-merah NT
36 Ficedula hyperythra Sikatan bodoh
37 Ficedula mugimaki Sikatan mugimaki M
38 Ficedula westermanni Sikatan belang
39 Gallus varius Ayam-hutan hijau E
40 Halcyon cyanoventris Cekakak jawa E A, E
41 Harpactes reinwardtii Luntur harimau E A, EN
42 Hemipus hirundinaceus Jingjing batu
43 Hirundo striolata Layang-layang loreng
44 Hirundo tahitica Layang-layang batu
45 Ictinaetus malayensis Elang hitam B, E, II
46 Ixobrychus cinnamomeus Bambangan merah
47 Lanius schach Bentet kelabu
48 Lanius tigrinus Bentet loreng M
49 Lonchura leucogastroides Bondol jawa E
50 Lonchura punctulata Bondol peking
51 Lophozosterops javanicus Opior jawa E D
52 Macronous flavicollis Ciung-air jawa E
53 Macropygia ruficeps Uncal kouran
54 Malacocincla sepiarium Pelanduk semak
55 Megalaima armillaris Takur tohtor E D, E
56 Megalurus palustris Cica-koreng jawa
57 Motacilla cinerea Kicuit batu M
58 Napothera epilepidota Berencet berkening
59 Nectarinia jugularis Burung-madu sriganti A, E
60 Oriolus chinensis Kepudang kuduk-hitam
61 Orthotomus cuculatus Cinenen gunung
62 Orthotomus sepium Cinenen jawa E
63 Parus major Gelatik-batu kelabu
64 Passer montanus Burung Gereja Erasia
65 Pericrocotus miniatus Sepah gunung E
66 Pernis ptylorynchus Sikep madu asia M B, E, II
67 Phaenicophaeus curvirostris Kadalan birah
68 Phylloscopus borealis Cikrak kutub M
69 Phylloscopus trivirgatus Cikrak daun
70 Picus miniaceus Pelatuk merah
71 Pnoepyga pusilla Berencet kerdil
72 Pomatorhinus montanus Cica-kopi Melayu
73 Prinia familiaris Perenjak jawa E
74 Prinia inornata Perenjak padi
75 Prinia polychroa Perenjak coklat
76 Psaltria exilis Cerecet jawa E D
77 Pteruthius aenobarbus Ciu kunyit
78 Pteruthius flaviscapis Ciu besar
79 Ptilinopus porphyreus Walik Kepala-ungu E
80 Pycnonotus aurigaster Cucak kutilang
81 Pycnonotus bimaculatus Cucak gunung E
82 Pycnonotus goiavier Merbah Cerukcuk
83 Reindwardtipicus validus Pelatuk kundang
84 Rhinomyias olivacea Sikatan-rimba dada-coklat
85 Rhipidura phoenicura Kipasan ekor merah E D, E
86 Scolopax saturata Berkik-gunung merah
87 Seicercus grammiceps Cikrak muda E
88 Sitta azurea Munguk loreng
89 Spilornis cheela Elang ular bido B, E, II
90 Spizaetus bartelsi Elang jawa E B, E, EN, II
91 Spizaetus cirrhatus Elang brontok B, E, II
92 Stachyris melanothorax Tepus pipi perak E D, E
93 Stachyris thoracica Tepus leher-putih E D
94 Streptopelia chinensis Tekukur biasa
95 Sturnus sturninus Jalak cina M
96 Tesia superciliaris Tesia jawa E
97 Treron oxyura Punai salung
98 Tringa hypoleucos Trinil pantai M
99 Turnix suscitator Gemak loreng
100 Zoothera dauma Anis Sisik
101 Zoothera sibirica Anis Siberia M
102 Zosterops montanus Kacamata gunung
103 Zosterops palpebrosus Kacamata biasa

Sumber: Data Primer Bird Conservation Society 2008 dan Ramdhani 2006

Keterangan:
Peraturan Pemerintah RI
A = Peraturan Perlindungan Binatang Liar 1931
B = SK. Mentan No.421/kpts/um/8/1970
C = SK. Mentan No.66/kpts/um/2/1973
D = SK. Mentan No.757/kpts/um/12/1979
E = Peraturan Pemerintah No 7 th 1999
II = Apendiks CITES II
IUCN
EN = Endangered (terancam)
NT = Near Threatened (hampir punah)
Distribusi
M = Migran
E = Endemik Jawa/Indonesia

Kawasan Kawah Putih dan Ranca Upas memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Masing-masing memiliki ciri khas yang sulit ditemukan di tempat yang lain. Kawah Putih merupakan kawah yang terbentuk dari letusan Gunung Patuha, sedangkan Ranca Upas berada di bawahnya yang menjadi tempat bermuaranya sebagian air dari gunung-gunung yang ada disekitarnya. Kedua kawasan tersebut terletak pada suatu bentangan Gunung Patuha. Patuha sendiri berasal dari nama Pak Tua, dan masyarakat lebih sering menyebutnya dengan Gunung Sepuh, dengan ketinggian 2.434 m dpl, dengan kisaran suhu 8-22°C, dan curah hujan 3740-4050 mm/th. Sedangkan Ranca upas berasal dari kata ranca yang artinya rawa, dan upas yang berarti serdadu Belanda. Dulunya dijadikan sarana tempat latihan militer tentara Belanda, dan beberapa titik di lokasi tersebut sampai kini dijadikan lokasi berlatih beberapa kesatuan militer tentara RI.
Ranca upas memiliki keunikan tersendiri, karena merupakan lahan basah yang berada di dataran tinggi, sehingga beberapa tumbuhan rawa hanya dapat ditemukan di sini. Oleh karena itu beberapa jenis burung air pegunungan tercatat menggunakan kawasan ini sebagai habitatnya. Salah satu diantaranya adalah burung Berkik-gunung merah (Scolopax saturata) yang hanya dapat ditemukan pada ekosistem lahan basah di pegunungan antara ketinggian 1200-2800 m dpl. Selain itu tercatat pula jenis burung air migran dari Bumi Utara, yaitu Trinil pantai (Tringa hypoleucos) yang biasanya ditemukan dalam kelompoknya di sekitar rawa-rawa Ranca upas.
Hutan alam di sekitar kawasan Gunung Patuha ditumbuhi oleh jenis pohon khas kawasan pegunungan, seperti Puspa (Schima walichii), Saninten (Castanopsis argentea), Ki hujan (Engelhardia spicata), Huru (Litsea angurata), Ki huut (Glochidion obscorum), Hiur (Lithocarpus sundaicus), Pasang (Quercus sp.), Ki endog (Ilex pleiobrachiata), dsb. Selain tumbuhan alami, kawasan ini juga ditanami pohon produksi yang kini sudah tidak diambil kayunya, seperti pohon Kayu putih (Eucalyptus sp.), Pinus (Pinus merkusii), dan Akasia (Acasia decurens) yang biasanya mengelilingi area hutan alam. Selain itu terdapat juga hutan homogen jenis Rasamala (Altingia excelsa) tepatnya di sekitar bumi perkemahan Ranca upas yang berdekatan dengan tempat penangkaran rusa (Cervus timorensis).
Sedangkan fauna yang dapat ditemukan di kawasan ini antara lain aneka jenis primata seperti Lutung Jawa (Trachypithecus auratus sondaicus), Surili (Presbytis comata), dan mamalia lainnya seperti babi hutan (Sus vittatus), Ajag atau anjing hutan (Cuon alpinus), Mencek (Muntiacus muntjak), Jelarang (Ratufa bicolor), Kucing hutan (Felis bengalensis), Macan tutul (Panthera pardus pardus), Macan kumbang (Panthera pardus melas), serta berbagai jenis fauna lainnya.

Begitu kayanya hutan pegunungan di kawasan ini, sehingga kawasan ini menjadi daya tarik bagi wisatawan. Kita berharap kawasan ini dapat terus lestari, setidaknya luasan area hutannya tidak menyusut ataupun rusak di dalamnya yang dapat mengakibatkan berkurangnya species dan hilangnya keanekaragaman hayati lainnya. Sepatutnya kita bersyukur kepada Allah SWT atas karunia yang telah diberikanNya dengan beribadah hanya kepadaNya, yaitu dengan cara menjaga dan melestarikan kekayaan alam di negeri ini sebagai titipan Illahi.

Alhamdulillah….

Bencana Alam sebagai Efek dari Pengkhianatan Manusia

Oktober 6, 2008

Merdunya kicauan burung, segarnya udara yang kita hirup, jernihnya air yang mengalir di sungai sangat sulit kita temui di lingkungan kita. Bagi masyarakat Kota Bandung pemandangan tersebut merupakan hal yang sangat langka, pun dengan masyarakat di pedesaan yang saat ini mengalami krisis yang sama. Kerusakan lingkungan yang terjadi merupakan sebuah efek kontinyuitas dari adanya perusakan atau penghilangan suatu komponen yang terdapat di alam ini.
Contoh saja ketika satwa liar seperti macan diburu oleh manusia maka tidak ada lagi binatang buas di hutan, sehingga manusia akan dengan leluasa mengambil segala sesuatu yang berada di hutan termasuk menebang pohon. Dan ketika sudah tidak ada lagi pohon di gunung maka malapetaka yang lain segera menyusul. Di musim kemarau manusia sangat sulit mendapatkan air bersih, tidak hanya di kota, di desa pun demikian. Sulitnya mendapatkan air bawah tanah merupakan dampak dari hilangnya pepohonan dan juga eksploitasi sumur artesis oleh sekelompok manusia, sehingga persediaan air tanah semakin menipis. Tidak hanya itu, air permukaan yang mengalir di sungai-sungai kini tak lebih dari aliran limbah berbahaya dan beracun yang siap membunuh semua biota air dan mahluk hidup yang tergantung dengan adanya air. Ketika musim penghujan tiba, aliran itu berubah menjadi malapetaka yang berbeda. Sungai yang meluap seakan-akan menjadi tamu tak diundang yang masuk ke dalam setiap rumah. Di beberapa tempat, luapan sungai dapat memporakporandakan rumah dan bangunan lainnya, tidak sedikit korban nyawa dan harta karena malapetaka tersebut. Di pegunungan kejadian longsor merupakan berita yang biasa didengar manakala musim penghujan tiba. Dan pada abad ini kita mengenal bencana alam yang paling mendunia, yaitu adanya pemanasan global (global warming) yang memiliki efek kontinyuitas yang sangat tinggi.
Hal demikian merupakan salah satu contoh musibah yang disebabkan oleh ulah manusia sendiri. Tuhan Pencipta langit dan bumi dalam hal ini telah memperingatkan:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari perbuatan mereka, agar mereka kembali”. (Ar Ruum, 30:41)

Musibah bencana alam yang terjadi adalah ulah tangan manusia sendiri sebagai akibat dari keserakahan dan kerakusan manusia. Selain itu sebab yang paling fatal adalah ketika manusia sudah tidak taat lagi kepada aturan-aturan yang diturunkan Sang Pencipta, mereka tidak sekalipun mengindahkannya, bahkan cenderung menutupi dan mengganti aturan yang telah diperintahkan oleh Sang Pencipta kepada mahlukNya. Sehingga musibah terjadi di segala bidang kehidupan, bukan saja bencana alam, musibah dalam bidang lainnya dari mulai bidang sosial, ekonomi, politik, sampai budaya adalah sebagai akibat kelalaian manusia terhadap aturan tersebut. Betapa tidak, pada hakikatnya manusia diturunkan ke bumi adalah sebagai wakil dari Sang Pencipta (mandataris Allah/khalifah).
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Al Baqoroh 2:30)

Tuhan telah memberikan amanah kepada manusia untuk menjadi wakilNya di muka bumi ini. Hal ini adalah amanah yang terbesar yang telah diberikan Tuhan kepada manusia, walaupun pada dasarnya manusia adalah mahluk yang membuat kerusakan, akan tetapi manusia lah yang dipilih Tuhan untuk menjadi khalifahNya. Manusia akan mampu menjaga amanah ini apabila mereka hanya tunduk, patuh dan taat kepada aturan yang Tuhan turunkan, apabila manusia menutupi (kafir) terhadap aturan-aturan itu maka akan terjadi kerusakan di segala bidang, tidak saja bencana alam melainkan kerusakan di seluruh alam raya ini.
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar”. (Al Anfaal 8:73)

Ayat-ayat di atas merupakan peringatan kepada kita sebagai manusia agar kembali kepada aturanNya. Apabila manusia kafir terhadap aturanNya maka kerusakan itu akan semakin besar seperti yang terjadi sekarang ini. Dan pastinya, jikalau kita masih dalam kondisi kafir (menutupi) aturanNya maka kerusakan yang lebih besar akan segera terjadi. Padahal telah jelas perintah yang diturunkan kepada manusia, hanya saja kita tidak menerapkannya, dan menggantinya dengan aturan yang dibuat oleh manusia sendiri. Hal tersebut merupakan sebuah pengkhianatan terhadap amanah yang telah diperintahkan oleh Sang Pencipta. Oleh karena itu efek kontinyuitas dari berbagai musibah ini tidak dapat manusia hentikan sebelum manusia kembali kepada peraturan yang paling hakiki.

Fauna Pulau Bintan

Februari 27, 2008

Fauna Pulau Bintan

Fauna yang berada di alam merupakan komponen ekosistem yang memiliki peranan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Di alam, satwa liar ada yang berfungsi sebagai pemangsa, sebagai penyerbuk, penyebar biji, dan bahkan sebagai pemberantas hama pertanian.  Disamping itu, satwa liar juga berfungsi sebagai indikator perubahan lingkungan, dimana dampak perubahan lingkungan berpengaruh terhadap perubahan tingkah laku di luar kebiasaan, perubahan populasi, perubahan komposisi jenis atau bahkan hilangnya suatu jenis. Khusus untuk jenis-jenis burung juga dapat digunakan sebagai bio-monitor) perubahan lingkungan, polusi (pestisida, logam berat, pencemaran udara, kontaminasi radio aktif, dll.) dan perubahan kualitas air. Sehingga keberadaan jenis-jenis liar di suatu kawasan adalah penting di dokumentasikan untuk tujuan-tujuan tertentu, termasuk sebagai bahan masukan penting untuk pengelolaan kawasan. Yang dapat mengancam kelestarian satwa-satwa di alam diantaranya adalah perburuan dan kerusakan habitat (konversi lahan, fragmentasi dan alterasi habitat).

a) Burung

Burung merupakan salah satu kelompok terbesar vertebrata yang banyak dikenal, diperkirakan ada sekitar 8.600 jenis burung yang tersebar di dunia (MacKinnon, 1995). Mereka menempati setiap tipe habitat mulai dari khatulistiwa sampai daerah kutub.  Pulau Bintan  yang memiliki beragam tipe ekosistem dari ekosistem pesisir termasuk hutan mangrove yang masih relatif luas sampai ekosistem  hutan dataran kering, merupakan habitat ideal bagi  beragam jenis burung untuk menetap, mencari makan dan berkembangbiak.

Pengamatan burung dilakukan dengan metode jelajah,  yaitu menggunakan  teknik penghitungan Point Count (titik hitung). Radius pengamatan sekitar 50 meter dengan waktu pengamatan 20 menit di setiap titik hitung. Dari hasil pengamatan tersebut, teridentifikasi sebanyak 62  jenis burung (Tabel 3.18 ).

Tabel 3.18.  Kelimpahan Jenis Burung di Sepanjang Rencana

Jalur  SUTT 70 kV Pulau Bintan.

No

Nama Ilmiah

Nama Lokal

KR

FR

INP

1

Collocalia linchi

Walet linci

6,74

3,74

10,48

2

Pycnonotus goiavier

Merbah cerukcuk

5,97

3,74

9,71

3

Pycnonotus aurigaster

Cucak kutilang

5,20

3,27

8,47

4

Passer montanus

Gereja erasia

5,59

2,80

8,39

5

Zosterops palpebrosus

Kacamata biasa

4,82

2,34

7,15

6

Lonchura leucogastroides

Bondol jawa

3,85

2,80

6,66

7

Apus affinis

Kapinis rumah

3,85

2,34

6,19

8

Hirundo striolata

Layang-layang loreng

3,08

2,80

5,89

9

Hirundo tahitica

Layang-layang batu

2,89

2,80

5,69

10

Dicaeum trochileum

Cabai Jawa

2,89

2,34

5,23

11

Cuculus sepulcralis

Wiwik uncuing

2,31

2,34

4,65

12

Cacomanthis merulinus

Wiwik kelabu

1,73

2,80

4,54

13

Lonchura punctulata

Bondol peking

2,12

2,34

4,46

14

Ardea purpurea

Cangak merah

1,93

2,34

4,26

15

Orthotomus ruficeps

Cinenen kelabu

2,31

1,87

4,18

16

Streptopelia chinensis

Tekukur biasa

1,73

2,34

4,07

17

Ardeola speciosa

Blekok sawah

1,73

2,34

4,07

18

Nycticorax nycticorax

Kowak-malam kelabu

1,73

1,87

3,60

19

Geopelia striata

Perkutut

1,73

1,87

3,60

20

Egretta alba

Kuntul besar

1,73

1,87

3,60

21

Pernis ptylorhynchus

Sikep-madu Asia

2,12

1,40

3,52

22

Ardea cinerea

Cangak abu

2,12

1,40

3,52

23

Egretta garzetta

Kuntul kecil

1,93

1,40

3,33

24

Cuculus saturatus

Kangkok ranting

1,35

1,87

3,22

25

Ixobrychus cinnamomeus

Bambangan merah

1,16

1,87

3,03

26

Bubulcus ibis

Kuntul kerbau

1,54

1,40

2,94

27

Arachnotera longirostra

Pijantung kecil

0,96

1,87

2,83

28

Seicercus grammiceps

Cikrak muda

0,96

1,87

2,83

29

Caprimulgus pulchellus

Cabak gunung

1,35

1,40

2,75

30

Anthreptes malacensis

Burung-madu Kelapa

1,16

1,40

2,56

Tabel 3.18 (Lanjutan)

31

Merops viridis

Kirik-kirik biru

1,16

1,40

2,56

32

Enicurus leschenaulti

Meninting besar

1,16

1,40

2,56

33

Dicaeum concolor

Cabai polos

0,96

1,40

2,37

34

Dendrocopus macei

Caladi ulam

0,96

1,40

2,37

35

Lanius schach

Bentet kelabu

0,96

1,40

2,37

36

Nectarinia jugularis

Burung-madu sriganti

0,96

1,40

2,37

37

Ictinaetus malayensis

Elang hitam

0,96

1,40

2,37

38

Nectarinia sperata

Burung-madu pengantin

0,96

1,40

2,37

39

Turnix suscitator

Gemak loreng

0,96

1,40

2,37

40

Accipiter soloensis

Elang-alap Cina

0,77

1,40

2,17

41

Halcyon pileata

Cekakak cina

0,77

1,40

2,17

42

Malacocincla sepiarium

Pelanduk semak

0,77

1,40

2,17

43

Todirhampus chloris

Cekakak sungai

0,77

1,40

2,17

44

Accipiter gularis

Elang-alap Nipon

0,58

1,40

1,98

45

Streptopelia bitorquata

Dederuk jawa

0,77

0,93

1,71

46

Aethopyga siparaja

Burung-madu Sepahraja

0,77

0,93

1,71

47

Amaurornis phoenicurus

Kareo padi

0,58

0,93

1,51

48

Eumyas indigo

Sikatan Ninon

0,58

0,93

1,51

49

Motacilla cinerea

Kicuit batu

0,58

0,93

1,51

50

Acridotheres tristis

Kerak ungu

0,58

0,93

1,51

51

Ducula aenea

Pergam hijau

0,58

0,93

1,51

52

Megalurus palustris

Cica-koreng Jawa

0,58

0,93

1,51

53

Haliaeetus leucogaster

Elang Laut Perut Putih

0,39

0,93

1,32

54

Corvus macrorhyncus

Gagak kampung

0,39

0,93

1,32

55

Dicrurus paradiseus

Srigunting batu

0,39

0,93

1,32

56

Egretta sacra

Kuntul Karang

0,58

0,47

1,05

57

Treron fulvicollis

Punai bakau

0,58

0,47

1,05

58

Ficedula westermanni

Sikatan belang

0,39

0,47

0,85

59

Haliastur Indus

Elang bondol

0,39

0,47

0,85

60

Loriculus galgulus

Serindit melayu

0,19

0,47

0,66

61

Pelargopsis capensis

Pekaka emas

0,19

0,47

0,66

62

Gracula religiosa

Tiong emas

0,19

0,47

0,66

100,00

100,00

200,00

Sumber: Data Primer, 2007

Keterangan :

KR     = Kelimpahan Relatif

FR      = Frekuensi Relatif

INP    = Indeks Nilai penting

Berdasarkan hasil analisis tersebut, diketahui jenis burung di lokasi studi yang dikategorikan dominan adalah jenis walet linchi (Collocalia linchi) dengan nilai INP  sebesar 10,48%, merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier) INP 9,71 %, cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) INP 8,47, Gereja Erasia (Passer montanus) INP 8,39 % dan Kaca mata biasa (Zosterops palpebrosus) INP  7,15 %.  Besarnya nilai INP   jenis-jenis  burung dominan  tersebut karena sebagian besar merupakan pemakan serangga kecil, buah-buahan serta nektar yang terdapat cukup berlimpah di sepanjang rencana jalur SUTT 70 kV, ketersediaan pakan sangat mendukung kehidupan jenis-jenis burung tersebut.

· Status Perlindungan dan burung endemik

Status perlindungan yang dimaksud adalah mengacu pada perundang-undangan Nasional yaitu UU No. 5 Tahun 1990; tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Perlindungan Binatang Liar Tahun 1931, SK. Mentan No.421/kpts/um/8/1970, SK. Mentan No.757/kpts/um/12/1979   dan PP No. 7 tahun 1999; tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Selain itu digunakan pula nilai Apendiks CITES II serta IUCN. Sedangkan untuk distribusi dan aktifitas jenis burung digolongkan menjadi jenis burung migran dan burung penetap. Dan jenis burung endemik dibedakan berdasarkan daerah tempat hidup jenis jenis burung tersebut yang biasanya berdasarkan pulau, yaitu masing-masing jenis burung endemik Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Lombok dan Timor.

Mengacu pada sistem perundang-undangan  serta peraturan internasional tersebut, dari hasil pengamatan  terdapat  20 jenis  burung  yang dilindungi (Tabel 3.19).

Sedangkan untuk burung endemik, di kawasan tersebut dijumpai sebanyak 6 jenis burung endemik, yaitu 1 jenis endemik Sumatera-Jawa, 2 Jenis endemik Sumatera-Kalimantan, 1 jenis endemik Sumatera-Jawa-Bali, 2 jenis endemik Sumatera-Kalimantan-Jawa-Bali-Lombok.

Berdasarkan distribusi dan aktifitas jenis burung, terdapat 5 jenis burung migran.

Dengan dijumpainya jenis-jenis burung yang dilindungi dan jenis yang endemik, menunjukkan bahwa wilayah Pulau Bintan  memiliki nilai yang penting bagi pelestarian burung.

Tabel 3.19. Jenis-Jenis Burung Endemik dan Dilindungi di Wilayah Studi

No

Jenis Burung

Nama Lokal

Distribusi

Status Perlindungan

1

Accipiter gularis

Elang-alap Nipon

M

B, D, II

2

Accipiter soloensis

Elang-alap Cina

M

B, D, II

3

Acridotheres tristis

Kerak ungu

SK

4

Aethopyga siparaja

Burung-madu Sepahraja

A, D

5

Anthreptes malacensis

Burung-madu Kelapa

A, D

6

Arachnotera longirostra

Pijantung kecil

A, D

7

Caprimulgus pulchellus

Cabak gunung

SJ

NT

8

Dicaeum trochileum

Cabai Jawa

SKJBL

9

Egretta alba

Kuntul besar

A, C, D

10

Egretta garzetta

Kuntul kecil

A, C, D

11

Egretta sacra

Kuntul Karang

A, C, D

12

Gracula religiosa

Tiong emas

II

13

Halcyon pileata

Cekakak cina

M

A, D

14

Haliaeetus leucogaster

Elang Laut Perut Putih

B, D, II

Tabel 3.19 (Lanjutan)

15

Haliastur Indus

Elang bondol

B, D, II

16

Ictinaetus malayensis

Elang hitam

B, D, II

17

Lonchura leucogastroides

Bondol jawa

SKJBL

18

Loriculus galgulus

Serindit melayu

II

19

Motacilla cinerea

Kicuit batu

M

20

Nectarinia jugularis

Burung-madu sriganti

A, D

21

Nectarinia sperata

Burung-madu pengantin

A, D

22

Pelargopsis capensis

Pekaka emas

A, D

23

Pernis ptylorhynchus

Sikep-madu Asia

M

B, D, II

24

Seicercus grammiceps

Cikrak muda

SJB

25

Todirhampus chloris

Cekakak sungai

A, D

26

Treron fulvicollis

Punai bakau

SK

Sumber: Data Primer, 2007

Keterangan :

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Peraturan Perlindungan Binatang Liar 1931

A

SK. Mentan No.421/kpts/um/8/1970

B

SK. Mentan No.757/kpts/um/12/1979

C

Peraturan Pemerintah No 7 th 1999

D

Apendiks CITES II

II

IUCN

Endangered (terancam)

EN

Near Threatened (hampir punah)

NT

Distribusi & Aktivitas

Migran

M

Endemik:

Sumatera

S

Kalimantan

K

Jawa

J

Bali

B

Lombok

L

Timor

T

b) Mamalia

Berdasarkan hasil survey (pengamatan langsung dan wawancara dengan masyarakat setempat), di wilayah Kabupaten Bintan  terdapat sedikitnya  11 jenis satwa mamalia liar (Tabel 3.20). Dari 11 jenis tersebut, lima jenis yang teramati secara langsung, 1 jenis diketahui dari feses dan sisanya (lima jenis) berdasarkan informasi dari masyarakat setempat.

Tabel  3.20. Jenis Mamalia di Wilayah Studi

No

Nama Ilmiah

Nama Lokal

Keterangan

Status

1

Calosciurus sp.

Bajing

I; L (3 ekor)

2

Hystrix javanica

Landak

I

D

3

Macaca fascicularis

Monyet Ekor Panjang

L (4 ekor)

4

Manis javanicus

Landak

I

5

Muntiacus muntjak

Kijang

I

D

6

Paradoxurus hermaproditus

Musang

I; Feses

D

7

Petaurista petaurista

Bajing terbang/Tando

I; L (1 ekor)

D

8

Pterapus vampyrus

Kelelawar

L

9

Sus scrofa

Babi hutan

I

10

Tupaia sp.

Tupai

I; L (1 ekor)

11

Tragulus javanicus

Pelanduk

I

D

Sumber: Data Primer, 2007

Keterangan :      I  = Informasi masyarakat

L  = Pengamatan langsung di lapangan

D = Dilindungi

Terdapat lima jenis mamalia yang dilindungi berdasarkan peraturan perundangan. Keberadaan jenis-jenis yang dilindungi tersebut memiliki peranan penting bagi keseimbangan ekosistem di kawasan tersebut. Kawasan Pulau Bintan yang memiliki ekosistem yang beragam sangat mendukung kehidupan satwa-satwa liar tersebut.

c) Reptilia dan Amfibia

Jenis-jenis reptilia yang umum ditemukan di wilayah studi yaitu Kadal (Mabouia multifasciata), dan beberapa jenis ular diantaranya ular kobra (Naja sp.) dan ular hijau (Ahaetulla prasina). Sedangkan jenis reptilia yang dilindungi adalah buaya muara (Crocodilus porosus). Jenis-jenis amfibia yang umum terdapat di wilayah studi ialah katak (Rana sp.) dan kodok buduk (Bufo melanosticus).